Fikriyyah menarik napas panjang setelah membayar tiket di Indomaret Pelabuhan Merak. Kertas tiket yang ia genggam terasa lebih dari sekadar bukti perjalanan—itu adalah janji, janji untuk menemui Gemani yang tengah sakit di Lampung. Meski harganya sedikit lebih mahal daripada membeli melalui aplikasi, Fikriyyah merasa lebih nyaman melakukannya sendiri. Dia tak ingin merepotkan Gemani yang sudah cukup terbebani dengan rasa sakitnya.
Suasana di Pelabuhan Merak Eksekutif begitu berbeda dari yang biasanya ia bayangkan tentang sebuah pelabuhan. Dikelilingi oleh bangunan modern, fasilitas pelabuhan ini berada di dalam Mall Sosoro yang rapi dan bersih, tanpa jejak pedagang kaki lima atau hiruk-pikuk yang berlebihan.
Fikriyyah berjalan menyusuri koridor dengan lantai mengkilap, ditemani langkah-langkah berat para penumpang lain yang juga membawa beban perjalanan masing-masing. Bapak-bapak yang tadi bersama-sama antre tiket di Indomaret berjalan tak jauh di depannya, sesekali melirik jam tangan seolah memastikan waktu.
Ketika tiba di pintu menuju dermaga eksekutif, bapak itu menoleh ke arah Fikriyyah, seolah menyadari keberadaannya. "Beli tiket di Indomaret tadi lebih mahal ya daripada beli di aplikasi."
Fikriyyah tersenyum tipis. "Iya, Pak. Tapi saya nggak mau ribet harus beli online. Anak saya yang bisa beliin tiket, tapi dia lagi sakit."
Bapak itu mengangguk sambil menoleh. "Iya, kadang kalau udah kepepet gini, ya bayar lebih nggak apa-apa. Saya juga lagi buru-buru, takut ketinggalan kapal."
Fikriyyah merasa sedikit lebih tenang, merasa ada yang mengerti. "Benar, Pak. Lebih baik bayar lebih daripada harus repot-repot. Kalau ketinggalan, malah lebih pusing lagi."
"Semoga perjalanannya lancar ya, Bu," kata bapak itu ramah.
"Aamiin, Pak. Mudah-mudahan kapal nggak terlalu ramai," sahut Fikriyyah, merasa sedikit lebih lega dengan percakapan kecil ini.
Mereka lalu berjalan bersama menuju dermaga, masing-masing membawa beban pikiran mereka, namun dengan sedikit kehangatan dari sapaan singkat tadi.
Mereka melanjutkan berjalan menuju kapal. Suasana di dermaga eksekutif begitu tertib. Tidak ada kerumunan, hanya beberapa penumpang yang berjalan beriringan menuju kapal yang sudah bersandar. Begitu menaiki kapal, Fikriyyah memilih tempat duduk di dekat jendela, tempat ia bisa memandangi laut. Cahaya matahari memantul di permukaan air yang tenang, namun perasaannya jauh dari tenang. Pikirannya terus melayang pada Gemani.
Di dalam kapal, waktu seperti melambat. Setiap detik terasa lebih lama dari biasanya, meski perjalanan hanya memakan waktu satu setengah jam. Fikriyyah mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menyaksikan laut yang bergelombang lembut.
Pikirannya tetap pada Gemani—apakah anaknya sudah mendapatkan perawatan yang tepat? Bagaimana kondisinya sekarang? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar, menambah beban di hatinya.
Saat kapal akhirnya merapat di Pelabuhan Bakauheni, Fikriyyah turun dengan langkah cepat. Perjalanan belum usai; masih ada beberapa jam lagi sebelum ia bisa bertemu Gemani. Ia melangkah ke luar pelabuhan, merasakan udara segar yang mengalir di sekelilingnya. Namun, saat melihat kerumunan orang, ia merasa sedikit bingung. Banyak travel menawarkan jasa angkutan kepada penumpang yang baru turun dari kapal.