Dengan langkah yang tertata namun berat, Fikriyyah berjalan meninggalkan halaman masjid, melewati kerumunan yang baru saja selesai melaksanakan Ashar. Hembusan angin sore yang lembut seakan membawa sisa-sisa doa yang baru ia panjatkan, menyelinap di antara langkah-langkahnya. Begitu mendekati rumah sakit, udara seketika berubah. Aroma antiseptik yang khas menyapu wajahnya, memberikan rasa dingin yang kontras dengan kehangatan dan kedamaian yang baru saja ia rasakan di tempat ibadah.
Di ruang rawat yang sunyi, Gemani duduk dengan lemah di atas ranjangnya. Wajahnya yang pucat menatap kosong ke luar jendela, seolah berharap menemukan kebebasan di balik kaca yang membatasi dirinya dari dunia luar. Jubah rumah sakit yang longgar menutupi tubuhnya yang kurus, memberi kesan seolah ia makin tenggelam dalam ketidakpastian kesehatannya.
Sebelum Ashar, ruangan ini pernah ramai. Sambara, Olive, Fatim, Nana, Amel, dan Safwa datang untuk menjenguknya. Mereka membawa keceriaan, mengisi ruangan dengan tawa dan cerita yang sejenak mampu mengusir rasa cemas yang menggelayut. Namun, begitu azan berkumandang, mereka berpamitan, meninggalkan Gemani sendiri. Saat pintu tertutup dan langkah mereka menjauh, rasa sepi yang menyakitkan kembali menyusup. Gemani merasa lebih terasing, bahkan di antara teman-temannya. Kehadiran mereka, meski menyenangkan, tidak sepenuhnya menghapus rasa kesepian yang mendalam.
Suara pintu berderit pelan ketika Fikriyyah memasuki kamar. Gemani menoleh cepat, matanya yang lelah seketika bercahaya saat melihat sosok yang ia nanti. Ada secercah harapan yang menghangat di dadanya. Tanpa bicara, Gemani langsung bangkit dan mendekat, melingkarkan tangannya ke tubuh ibunya. Pelukan itu erat, penuh harap, seperti menemukan rumah di tengah badai.
Fikriyyah membalas pelukan putrinya dengan kelembutan yang menenangkan. Tangannya yang penuh kasih mengelus punggung Gemani, meredakan kegelisahan yang selama ini tersimpan di balik senyum rapuh. "Maafkan Ibu baru bisa datang," bisik Fikriyyah pelan di telinga Gemani. Suaranya tenang, tapi penuh cinta yang tak terucap. "Ibu tadi istirahat sebentar di masjid."
"Ngga apa-apa, Bu." Gemani berbisik balas, suaranya parau dan hampir hilang. Tubuhnya yang lunglai terasa lebih ringan dalam dekapan ibunya, seolah semua beban yang menumpuk selama ini perlahan luruh. Pelukan ini, bagi Gemani, lebih dari sekadar kehadiran fisik. Ia adalah pengingat bahwa ada tempat di mana ia tidak perlu berpura-pura kuat. Bahwa meski dunia terasa semakin hampa, cinta ibunya selalu penuh.
Mereka berdiam diri dalam keheningan yang penuh makna. Hanya ada hembusan napas mereka yang terdengar di antara suara mesin-mesin rumah sakit. Fikriyyah mengecup lembut puncak kepala Gemani, sebuah gestur yang selama ini menguatkannya. Ciuman itu sederhana, namun sarat dengan makna bahwa apapun yang terjadi, Gemani tidak akan pernah sendirian.
Setelah beberapa saat, pelukan mereka perlahan terurai. Gemani menyeka sudut matanya yang sedikit lembab, lalu tersenyum lemah. "Maaf ya, Bu udah bikin Ibu repot jauh-jauh datang ke sini," ucapnya lirih.
Fikriyyah menggeleng cepat, senyum lembut menghiasi wajahnya, meski di balik itu, jelas terlihat guratan lelah yang tak bisa ia sembunyikan. "Nggak ada repotnya buat Ibu, Teh. Maaf Ibu telat datang. Ibu tadi istirahat dulu sebentar di masjid."
Gemani tersenyum tipis. "Aman kok, Bu. Tadi dokter udah datang, dan aku juga tadi boleh tanda tangan surat tindakan sendiri."
Fikriyyah sedikit terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Kamu udah tanda tangan sendiri?"
"Iya, Bu," jawab Gemani sambil mengangkat bahu dengan tenang. "Aku udah gede, bukan anak kecil lagi."
Ada keheningan di antara mereka, namun bukan keheningan yang canggung. Mereka saling memahami bahwa terkadang, kata-kata tak lagi dibutuhkan. Hanya kehadiran yang penting.
"Sakit nggak tadi dipungsi?" tanya Fikriyyah lembut, meski dalam hatinya ia tahu jawabannya.
Gemani mengangguk pelan, bibirnya tersenyum tipis meski jelas terlihat jejak kelelahan di matanya. "Sakit sih, Bu. Tapi sekarang udah aman, kok."
Fikriyyah mengelus tangan putrinya dengan lembut, memberikan sentuhan terakhir yang penuh makna. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun ia memilih untuk membiarkan kesederhanaan momen ini tetap utuh. Sebuah kehadiran ibu yang terlambat, tapi tetap tepat waktu di hati anaknya.
Saat Gemani dan Fikriyyah tengah asyik berbincang, ketukan pelan di pintu kamar rawat memecah keheningan. Pintu itu berderit sedikit saat dibuka, dan sosok yang tak terduga muncul di ambang pintu: Anggi. Gemani tertegun, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Anggi berdiri di sana, canggung namun berusaha tersenyum, seolah ingin menembus suasana tegang yang menyelimuti ruang itu.
“Anggi?” suara Gemani terdengar pelan, nyaris bergetar. Kebingungan dan keheranan menggelayuti setiap kata yang terucap. “Kok kamu di sini?”