Setelah semua urusan di rumah sakit selesai, suasana di luar terasa tenang, seolah-olah alam pun merayakan kepulangan mereka. Fikriyyah, dengan wajah yang masih mencerminkan kelelahan, memutuskan untuk naik ojek online. Sementara itu, Anggi yang sudah siap dengan motor kesayangannya, menghampiri Gemani dan menawarkan tumpangan.
“Gem, sini naik sama aku,” ujar Anggi, wajahnya bersinar dengan kehangatan, sambil menyerahkan helm cadangan yang terlihat sedikit usang, namun masih layak pakai.
Gemani mengangguk pelan, merasakan campuran canggung dan lega. Dia menerima helm itu dan mengenakannya dengan hati-hati, mencium aroma khas kulit yang telah terpapar sinar matahari. “Ibu, kita ketemu di kontrakan, ya?” tanyanya kepada Fikriyyah.
“Iya, sayang. Ibu naik ojek. Kamu hati-hati ya,” balas Fikriyyah, matanya menatap penuh perhatian, memastikan semua barang bawaan mereka sudah beres sebelum memisahkan diri.
Setelah semua siap, Anggi menyalakan motor, suara mesinnya memecah kesunyian sore. Mereka pun berangkat, menyusuri jalan yang berkelok-kelok, terasa lebih ringan dibandingkan saat berangkat ke rumah sakit. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah Gemani, membawanya kembali ke masa-masa ketika ia merasa lebih kuat.
Anggi sesekali meliriknya lewat spion. “Gimana, Gem? Perjalanan nggak bikin kamu tambah pusing, kan?” tanyanya saat mereka tiba di kontrakan Gemani.
“Enggak kok, Gi. Makasih ya,” jawab Gemani, sambil melepas helm yang terasa berat di kepalanya. Senyum tipis muncul di wajahnya, meski masih ada rasa lemah yang menggelayuti tubuhnya.
Tak lama kemudian, Fikriyyah tiba, turun dari ojek dengan beberapa kantong plastik berisi makanan dan obat-obatan dari rumah sakit. Senyumnya yang lega seolah memancarkan cahaya, melihat Gemani dan Anggi sudah sampai dengan selamat.
“Alhamdulillah, sampai juga kita,” ujarnya, mendekati mereka dengan langkah ringan. “Ibu mau beresin dulu barang-barangnya, ya.”
“Biar aku bantu, Bu,” Anggi menawarkan diri, tulus ingin meringankan beban, tetapi Fikriyyah menggeleng lembut.
“Nggak usah, Gi. Ibu masih kuat kok. Kamu udah bantu nganterin Gemani, itu udah lebih dari cukup. Makasih banyak.” Suara Fikriyyah penuh kasih, menghargai perhatian Anggi yang tulus.
Anggi tersenyum, lalu menoleh ke Gemani. “Kalau ada apa-apa, Gem, jangan ragu buat nge-chat aku, ya?”
Mendengar itu, Gemani mengangguk pelan, tapi dalam hatinya, rasa sungkan masih menempel. "Iya deh, makasih, Gi."
Setelah Anggi pamit, meninggalkan mereka di kontrakan, Fikriyyah mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong plastik. Suara kantong plastik berdesir menambah kesan hangat suasana rumah yang sederhana.