Malam itu, di kontrakan kecil Gemani, suasana begitu hening. Lampu redup dari sudut ruangan hanya mempertegas rasa sunyi yang mengisi setiap celah di antara dinding-dinding tipis. Fikriyyah duduk di tepi kasur dengan ponselnya tergeletak di sampingnya. Di sudut ruangan, Gemani termenung dengan tatapan kosong, mata sayunya menatap lantai kusam yang telah menyaksikan banyak perasaan yang tertahan.
Rasanya seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah keputusan yang berat, namun tak terucap. Fikriyyah bisa merasakannya, meski Gemani tidak mengatakannya. Mereka berdua terjebak dalam kebisuan yang aneh, seperti dua hati yang sama-sama ingin bicara, tapi takut pada apa yang akan terungkap.
Tiba-tiba, getaran halus dari ponsel Fikriyyah memecah keheningan. Nama "Suamiku" terpampang di layar. Fikriyyah mengangkat ponsel itu, dan suara Rafa yang akrab segera terdengar. "Assalamualaikum, gimana kabarnya di sana?" tanya Rafa.
"Alhamdulillah, baik. Tapi...," ia menggantungkan kata-katanya, tidak yakin bagaimana melanjutkan.
Rafa seolah bisa membaca keraguannya. “Besok jadi pulang, kan?” tanyanya langsung, memotong hening yang tiba-tiba terasa lebih tebal.
Fikriyyah merasa keputusan itu menekan, mengoyak hatinya sedikit demi sedikit. "Bingung, maunya sih sehari lagi, Pak. Biar Gemani benar-benar sehat dulu," katanya dengan suara bergetar, sambil mencuri pandang ke arah Gemani. Matanya menangkap sekilas bayangan putrinya, yang duduk terpaku, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ibunya.
“Besok pulang aja, Bu,” sahut Rafa lembut tapi tegas. “Gemani udah bisa sendiri. Kamu udah cukup lama di sana. Lagipula, kamu kan juga harus balik kerja. Anak-anak juga di sini butuh kamu, bukan cuma Gemani doang.”
Kata-kata itu menggantung di udara, lebih berat dari yang Fikriyyah perkirakan. Gemani akhirnya ikut menyahut. “Iya, Bu. Benar kata Bapak. Ibu pulang aja besok. Gemani udah bisa ditinggal kok, aman, Bu.”
Kata-kata Gemani menusuk hati Fikriyyah, membuatnya sadar betapa beratnya perjuangan yang sedang dihadapi anaknya. Namun, di balik nada tenang itu, ia tahu Gemani masih rapuh, seperti kaca yang hampir retak.
“Iya, Pak,” Fikriyyah akhirnya berbicara. "Besok Ibu pulang." Kata-kata itu keluar, meskipun hatinya belum sepenuhnya siap.
Waktu berjalan begitu cepat, langit pagi masih kelabu saat Fikriyyah bersiap-siap untuk perjalanan panjangnya ke Cilegon. Udara di luar kamar kontrakan terasa dingin, mencerminkan perasaan berat di hatinya.
"Teh," suara Fikriyyah memecah keheningan pagi itu. Dia mendekat, lalu duduk di samping putrinya. "Ibu titip satu hal, ya. Obatnya jangan sampai lupa diminum tiap hari. Kamu tahu, kalo lupa, harus ngulang dari awal lagi."
Gemani mengangguk pelan. "Iya, Bu. Gemani janji nggak akan lupa," ucapnya, meski ada keraguan di balik kata-katanya. Ia tahu betapa sulitnya mematuhi rutinitas itu, tapi kali ini, ia tak ingin membuat ibunya khawatir lebih dari ini.
Fikriyyah tersenyum kecil, meski mata sayunya menyiratkan kesedihan yang dalam. Ia tahu janji itu berat bagi Gemani, tapi dia tak punya pilihan lain selain percaya. "Ibu tahu kamu bisa."
Mereka saling berpandangan sejenak, lalu Fikriyyah memeluk tubuh Gemani erat, seolah itu adalah caranya menyalurkan kekuatan terakhir yang bisa ia berikan sebelum pergi. "Ibu sayang kamu Teteh."
"Teteh juga sayang Ibu."
Mobil travel sudah tiba di depan kontrakan. Suara klakson pelan terdengar, mengisyaratkan waktunya berangkat. Lalu, dengan berat hati, keduanya melangkah keluar.
"Jaga diri baik-baik, ya," kata Fikriyyah lembut sebelum akhirnya menaiki mobil travel yang akan membawanya menuju pelabuhan Bakauheni. Gemani berdiri di pintu, mengawasi mobil yang semakin menjauh, hingga akhirnya hilang di balik debu jalanan yang berkelok.