Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #21

Sebelum Gelap Terbit

Hari Jumat tiba dengan nuansa mendung, seakan alam pun ikut merasakan beban yang menyesak di dada Gemani. UTS tinggal tiga hari lagi, namun kali ini, tidak ada keinginan dalam dirinya untuk membuka buku. Seminggu yang lalu, jika ini adalah semester sebelumnya, dia pasti sudah mulai mencicil belajar, menghafal rumus, dan merapikan catatan. Tapi kali ini, semua terasa berbeda.

Pagi itu, dua berita buruk menghantamnya bertubi-tubi. Pertama, hasil tes menunjukkan bahwa ia positif TB. Meskipun tubuhnya sudah lama memberikan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang salah, mendengar kabar itu langsung dari dokter tetap saja seperti pukulan yang tak terelakkan. Rasa sesak di dadanya kini memiliki nama, dan itu bukan sekadar kecemasan belaka.

Namun, berita kedua menghantam jauh lebih keras, nyaris melumpuhkan seluruh harapannya. Tumor di paru-paru bapaknya telah menyebar ke otak. Berita itu menghancurkan sisa-sisa kekuatan mental yang masih ia pegang erat-erat.

Di kontrakan, Gemani duduk sendirian, menatap kosong pada dinding yang tiba-tiba terasa begitu dekat, seakan menjepitnya dari segala arah. Pikirannya kacau, berputar tanpa arah antara ketakutan, kepedihan, dan kebingungan. Bagaimana mungkin ia bisa berkonsentrasi pada UTS saat dunia keluarganya berada di ambang kehancuran? Bayangan bapaknya yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantui, mencengkram benaknya tanpa ampun. Rasa kehilangan itu begitu nyata, meski bapaknya belum benar-benar pergi.

Waktu terasa berjalan lambat hingga tiba hari Senin, hari pertama UTS. Gemani terpaksa menyeret tubuhnya ke ruang ujian, namun pikirannya entah melayang ke mana. Saat soal dibagikan, pandangannya kabur, seolah huruf-huruf pada kertas itu menari tanpa makna. Dia mengisi lembar jawabannya dengan setengah hati, mengira-ngira tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dia tulis. Seusai ujian, langkahnya berat, seperti ada beban yang tak terlihat menariknya kembali ke tanah.

Setibanya di kontrakan, suasana ramai menghantamnya dengan keras, kontras dengan kekosongan di dalam dirinya. Di ruang tengah, Olive, Fatim, dan Amel sibuk berbicara dengan penuh semangat, berkas-berkas MBKM berserakan di hadapan mereka. "Ini hari terakhir, loh, minta tanda tangan koordinator," Amel berkata dengan tawa riang, sementara Fatim mengangguk cepat sambil menulis sesuatu.

Gemani hanya berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan tatapan hampa. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, tak ada yang memperhatikan keberadaannya. Suara mereka terasa seperti gema dari dunia yang berbeda, jauh dan tak terjangkau. Perlahan, dia berjalan menuju kasur di ruang tengah—tempat yang selama ini ia anggap sebagai kamar—dan membaringkan tubuhnya. Dengan punggung membelakangi mereka, Gemani menatap kosong ke dinding. Pikirannya tersedot ke dalam pusaran kesedihan yang tak berujung, menelan seluruh keberanian yang pernah ia miliki.

"Kenapa aku?" gumamnya dalam hati. "Kenapa harus aku?"

Hari terakhir UTS tiba. Di warung geprek langganan yang sudah terasa begitu akrab, Gemani duduk diam, menatap layar ponselnya yang masih menyala. Ibu barusan mengabarkan bahwa bapaknya sudah sadar hari ini—sebuah kabar yang seharusnya melegakan, namun entah kenapa justru membuat dadanya semakin sesak.

Di depannya, Sambara asyik melahap nasi gepreknya tanpa banyak bicara, sementara Gemani berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan bapaknya. Tangannya gemetar saat mendengarkan suara lembut ibunya di telepon, mencoba terdengar tegar meski suaranya bergetar.

"Ini Gemani, Pak," kata ibunya pelan, seolah memanggil dengan harapan yang tipis namun tulus. "Bentar lagi lulus, Pak. Nanti kita ikut Gemani wisuda, ya. Bareng-bareng ke Lampung, biar Ibu nggak sendirian lagi."

Gemani meremas tepian meja dengan kuat, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Kata-kata ibunya, meski terdengar sederhana, menyayat hatinya seperti pisau tajam. Di kepalanya, bayangan bapaknya yang terbaring tak berdaya mengisi seluruh ruang pikirannya. Rasa bersalah mencengkeram hatinya. Bagaimana mungkin ia pernah menolak pelukan bapaknya saat mereka di Cilegon kemarin? Dengan entengnya dia berkata, “Gak mau. Salim aja.”

“Pak, nanti kita ke Lampung bareng, ya?” Ibu masih berusaha membangkitkan semangat bapak, meski yang terdengar hanya napas pelan di ujung sana.

Lihat selengkapnya