Malam melingkupi pelabuhan dengan tenang, seperti selimut yang menyelimuti segala suara. Hanya desiran angin yang memeluk lautan, membuat desiran airnya berbisik, menjadi saksi keheningan yang mendalam. Langit pekat, bulan tak tampak, menyisakan bintang-bintang samar yang seakan malu menampakkan diri.
Gemani berjalan pelan, napasnya tertahan oleh demam yang tak kunjung reda. Keringat dingin membasahi dahinya, tubuhnya masih menggigil meski jaket tebal sudah membungkusnya rapat. Setiap langkah menuju dermaga terasa berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menekan setiap sendinya.
Di pelabuhan, lampu-lampu tua berkedip-kedip lemah. Kapal reguler yang sederhana sudah bersandar, menunggu penumpang turun. Gemani tahu, dia bisa saja memilih kapal eksekutif yang lebih nyaman, tapi pikirannya sudah terpatri pada satu hal: menghemat uang. Pikiran itu mengalahkan rasa lemah yang menjalar di seluruh tubuhnya. Langkahnya terasa lamban, kaki-kakinya seakan menjerit, memohon istirahat, tapi ia paksakan terus berjalan. Setiap detik terasa seperti tantangan berat yang harus ia hadapi sendirian.
Sesampainya di rumah, pintu kayu tua itu terbuka dengan lembut. Aroma hangat masakan ibu segera menyambut, membawanya pada kenangan masa kecil yang penuh dengan pelukan hangat dan tawa riang. Ada sesuatu tentang aroma itu yang selalu membuatnya merasa aman—aroma yang berbicara tentang rumah, tentang kehangatan yang tak pernah pudar meski waktu terus berjalan. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang mengusik. Garis-garis kelelahan di wajah ibunya tampak semakin dalam, jauh lebih tua dari yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Gemani!" Suara ibu memecah keheningan, terdengar begitu gembira tapi tersirat kekhawatiran dari air wajahnya.
Ibu memeluknya erat, seolah takut Gemani akan lenyap jika ia melepaskan. Pelukan itu hangat, tapi Gemani merasa ada yang berbeda kali ini. Ia tetap diam, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan pelukan itu, merasakan kasih sayang yang ia rindukan selama ini.
"Rindu sekali, Bu," bisiknya lirih, suaranya parau. Ada gumpalan emosi yang menyumbat tenggorokannya, memaksa air mata yang nyaris jatuh untuk tetap tertahan.
Ibu melepaskan pelukannya perlahan, matanya menelusuri wajah lelah Gemani. "Sudah makan? Kamu pasti capek sekali," suara ibu penuh perhatian, namun tak mampu menyembunyikan kelelahan yang terpancar jelas di matanya.
Gemani hanya mengangguk. Tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah menuju kamar bapaknya. Suara langkah kakinya bergema pelan di rumah yang sunyi. Kamar itu redup, diterangi cahaya lampu temaram yang menambah kesan sunyi dan menyesakkan. Di atas ranjang, bapaknya terbaring diam. Nafasnya terdengar pelan, hampir tersapu oleh dengung kipas angin tua di sudut kamar.
Ketika Gemani mendekat, mata bapaknya terbuka perlahan. Sebuah senyum tipis menyambutnya, senyum yang dipenuhi beban rasa sakit yang tak terucapkan. Gemani merasa dadanya sesak, ada keharuan yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.
"Bapak, Gemani sudah pulang," ucap Ibu. Gemani duduk di tepi ranjang, memeluk tubuh Bapak yang terasa dingin dan rapuh.
Senyum itu masih ada, meski tak ada kata-kata yang keluar dari bibir bapaknya. Senyum yang menyembunyikan segala kesakitan yang ia tanggung selama ini. Gemani merasakan kegetiran itu, dan hatinya semakin perih. Ia ingin menangis, tapi air matanya tetap tertahan di sudut mata.