Setelah dua hari di Cilegon, Gemani merasa seolah hatinya terbelah. Di satu sisi, ada rasa lega saat melihat bapaknya sedikit membaik; namun di sisi lain, ada kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya. Meninggalkan rumah dalam keadaan seperti itu terasa bagai membebankan batu besar di dadanya. Pagi ini, ia harus kembali ke Lampung untuk kontrol kesehatan sebelum esok harinya memulai Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Ketika Gemani bersiap-siap untuk berangkat ke pelabuhan, ibunya datang menghampirinya dengan tatapan penuh kasih. Ia memeluk Gemani erat, seolah-olah ingin menyalurkan seluruh kekuatan yang dimilikinya.
“Teteh,” bisiknya lembut, “jangan terlalu mikirin kondisi bapak dulu, ya. Fokus saja pada KKN dan kesehatan Teteh. Jangan lupa, hari ini kontrol ke rumah sakit. Obat Teteh yang dua minggu pertama sudah habis.”
Mendengar kata-kata ibunya, Gemani menunduk, merasakan beban pesan itu menekan hatinya. Bukan hanya karena ia harus meninggalkan bapaknya yang masih membutuhkan perhatian, tetapi juga karena kesehatan dirinya sendiri yang masih rapuh.
Selama dua minggu terakhir, rasa sakit yang mengganggu terus mengingatkan betapa tubuhnya perlu dijaga. Namun saat ini, dengan KKN di depan mata dan kondisi bapaknya yang tak menentu, sulit baginya untuk sepenuhnya fokus pada dirinya sendiri.
Perjalanan ke pelabuhan terasa sepi, seperti perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Suara ombak dan angin seolah menyanyikan lagu sedih, sementara pesan ibunya terus terngiang di telinga Gemani.
Setiap detik yang berlalu, ia berusaha mengingatkan dirinya untuk tetap kuat, menjaga kesehatannya meskipun hatinya bergetar ingin berada di samping bapaknya.
Sesampainya di pelabuhan Merak, Gemani melangkah ke kapal dengan perasaan campur aduk. Laut yang tenang menghadapi angin pagi yang berbisik lembut, tetapi pikirannya tetap riuh. Pandangannya terarah pada cakrawala yang membentang luas, namun benaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan menyiksa—bagaimana keadaan bapak setelah ia pergi? Apa yang akan terjadi jika ia tidak ada di sana untuk mendampinginya? Namun, KKN menunggu, dan Gemani tahu ia tidak bisa terus tinggal di Cilegon.
Ketika kapal akhirnya merapat di pelabuhan Bakauheni, sinar matahari pagi mulai menciptakan kehangatan yang menyentuh kulitnya. Di tengah kerumunan, ia melihat Sambara, sahabatnya yang setia menunggu dengan motornya. Ia mengenakan jaket tebal dan melambaikan tangan, wajahnya menunjukkan rasa lega yang mendalam.
“Pagi, Gema! Gimana kabar bapakmu?” tanya Sambara dengan nada ceria, meskipun matanya penuh perhatian saat Gemani mendekat dan menyimpan tasnya di motor.
“Sedikit lebih baik, tapi masih khawatir meninggalkan mereka,” jawab Gemani, suaranya bergetar di ujung kalimatnya. Rasa bersalah menggelayuti hatinya.
“Kalau butuh semangat, ada aku.”
Gemani tersenyum tipis, meskipun hatinya masih berat. Tanpa banyak bicara, Sambara menyalakan motornya. Angin pagi yang dingin menerpa wajah Gemani saat motor melaju, dan ia merasakan sedikit ketenangan saat pemandangan hijau berlari melewati. Jalanan yang sepi mulai menenangkan pikirannya, meskipun di dalam hatinya, Gemani terus berjuang dengan kenyataan bahwa hari-hari ke depan akan dipenuhi tantangan baru.
Di belakangnya, Gemani memeluk diri sendiri, mencoba menerima kenyataan bahwa meskipun jiwanya masih tertambat di Cilegon, ia harus melangkah maju. Hari-hari baru menanti, penuh harapan dan ketidakpastian, dan di sana, di antara angin pagi dan pemandangan yang menyegarkan, ia berusaha menemukan kekuatan untuk melanjutkan.
Meski tubuhnya masih terasa lelah setelah perjalanan panjang dari Cilegon, Gemani tahu kontrol ini tidak bisa ditunda. Kesehatannya bergantung pada konsistensinya menjalani perawatan. Setibanya di rumah sakit, waktu terasa lambat, berputar-putar tanpa kepastian, seolah jam dinding pun malas bergerak maju. Namun, akhirnya pukul dua siang, pemeriksaan di poli paru selesai.
Dengan langkah yang semakin berat, Gemani duduk di kursi tunggu, berharap perawat segera datang membawa resep yang biasa ia terima. Perasaan hampa mulai menyelimuti dirinya, dan bayangan tentang bapaknya di Cilegon terus mengganggu pikirannya.
Tak lama, seorang perawat muncul, tapi alih-alih membawa resep, ia menyerahkan selembar kertas rujukan. Ada senyum tipis di wajah perawat itu, tapi Gemani bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
“Ini, obatnya diambil di puskesmas saja, ya. Bisa langsung ke sana sekarang,” kata perawat itu dengan nada tenang.
Gemani memandang kertas di tangannya, kebingungan muncul di wajahnya. “Di puskesmas? Tapi sekarang sudah sore, kan, Bu? Bukannya puskesmas tutup jam segini?”
Perawat itu masih tersenyum, tak sedikit pun terganggu oleh kekhawatiran Gemani. “Oh, enggak kok. Sekarang masih buka. Mereka buka sampai sore. Kamu langsung aja ke sana, kasih surat ini, nanti obatnya bisa diambil.”
Ragu menyelimuti hati Gemani, tapi apa daya, ia hanya bisa mengangguk pelan. Setelah menerima surat rujukan itu, ia melangkah keluar rumah sakit, berharap penjelasan perawat tadi benar adanya.
Di luar, matahari mulai merendah, menyisakan sinar keemasan yang menyelimuti langit. Gemani menaiki motor yang dikendarai Sambara. Perasaan tak menentu menyelimuti dadanya, semakin kuat seiring perjalanan menuju puskesmas. Ia berharap semuanya akan berjalan lancar, tapi hatinya terus dipenuhi kecemasan.
Namun, saat tiba di puskesmas, hatinya serasa jatuh ke dasar jurang. Gerbangnya sudah terkunci, suasana sepi, bahkan tak ada satu pun tanda-tanda kehidupan di sekitar. Gemani terdiam, memandangi pintu gerbang dengan perasaan hampa. Kertas rujukan yang digenggamnya terasa begitu berat di tangannya, dan lambat laun, matanya memanas. Ia berusaha menahan, tapi air mata itu akhirnya jatuh juga, mengalir deras di pipinya.