Hari kedua KKN dimulai dengan nuansa yang muram, mencengkeram hati Gemani sejak ia membuka mata. Tubuhnya lemah, seperti ditimpa beban berat yang tak terlihat. Batuknya makin menjadi, menggema di dadanya dengan rasa sakit yang menekan, menyesakkan hingga membuat napasnya tersengal. Gemani duduk di tepi tempat tidur, punggungnya membungkuk lemah.
Matahari masih malas menampakkan diri ketika mereka berkumpul untuk briefing pagi. Gemani melangkah mendekat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik masker yang membungkam sebagian wajahnya. Hatinya tetap berdebar, memupuk harap agar hari ini lebih baik.
Namun, hanya sekejap setelah ia tiba, suasana mendadak berubah. Teman-temannya, yang semula berbicara dengan riang, tiba-tiba saling melirik, seolah ada yang tak beres. Percakapan yang awalnya hidup langsung terhenti, seperti ada tirai tak terlihat yang ditarik antara dirinya dan mereka.
Gemani mencoba mengabaikannya, meski rasa tak nyaman mulai merambat pelan-pelan. Di sudut mata, ia melihat Dini, salah satu temannya, yang semula berdiri di dekatnya, kini beringsut menjauh. Dini berbisik kepada Aji yang berdiri di sampingnya, suaranya cukup pelan, tapi masih bisa didengar Gemani dengan jelas.
“Kayaknya kita perlu jaga jarak, deh,” bisik Dini. Suaranya serupa petir yang menghantam Gemani, menggema dalam kepalanya berulang kali.
Aji mengangguk tanpa berkata apa-apa, ekspresi wajahnya tak bisa dibaca, namun gerakan kecil itu sudah cukup membuat hati Gemani mencelos. "Kenapa mereka takut? Aku kan udah pakai masker," batinnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya merintih.
Nia, yang berdiri tak jauh dari sana, ikut menambahkan dengan nada ragu, "Aku sih, agak ragu buat dekat-dekat." Matanya melirik sekilas ke arah Gemani, cukup lama untuk membuat Gemani merasa dirinya adalah biang dari semua kegelisahan itu. Detik itu, rasa sakit di dadanya semakin menyiksa, bukan hanya karena penyakitnya, tapi juga karena kesepian yang mulai merayap tanpa ampun.
"Takut ketularan, ya?" gumam Gemani dalam hati, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Dia mencoba tersenyum meski bibirnya kaku, lalu mundur beberapa langkah, kembali ke tempat duduknya. Hatinya perih, kesedihan yang ia sembunyikan bergetar di dada, siap tumpah kapan saja.
Sepanjang hari itu, Gemani berusaha sekuat tenaga mengikuti kegiatan. Tenggorokannya terasa seperti terbakar, setiap kali ia mencoba bicara, suaranya seolah tersangkut di tenggorokan, hanya menyisakan batuk yang tak tertahan. Saat ia ingin menyampaikan sebuah ide dalam diskusi, matanya bertemu dengan teman-temannya yang kini hanya saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Rasanya seperti berdiri di atas panggung yang kosong, semua orang menghindar seolah-olah kehadirannya adalah gangguan.
“Eh, Gema, bisa nggak sih jangan batuk-batuk di sini?” suara Nia tiba-tiba memecah keheningan, nada kekesalan terselip dalam kalimatnya. “Kita semua pengen sehat.” Kalimat itu seperti pisau yang tajam, menusuk jantung Gemani tanpa ampun.
“Maaf, tapi aku udah pake masker,” jawab Gemani, suaranya bergetar, mencerminkan kepedihan yang tak tertahankan. Dia menunduk, merasa terasing meski dikelilingi orang-orang, berjuang sendirian melawan rasa sakit yang seolah tak ingin pergi.
Ketika waktu makan siang tiba, kelompok mereka memutuskan untuk membeli ayam geprek. Aroma pedas dan gurihnya segera memenuhi udara, menggoda selera Gemani yang sejak pagi menahan lapar. Namun, ia tahu tenggorokannya tak akan sanggup menerima sambal pedas yang biasanya menjadi favoritnya. Ketika pesanan tiba, Gemani hanya bisa menatap piringnya, merasa iri pada teman-temannya yang lahap menikmati makanan. Di depan matanya, sambal yang begitu ia rindukan kini menjadi benda terlarang, tak mungkin dijamah.
Nia, yang duduk di seberang meja, tertawa riang. "Wah, pedasnya enak banget!" serunya, disusul dengan tawa renyah yang menggema di antara teman-teman lain. “Eh, kamu masih simpan sambalmu, kan? Aku kekurangan sambal,” tanyanya kepada Dini.
Dini menggeleng, "Yah, udah kubuang ke tempat sampah."
Gemani, yang duduk di ujung meja, merasa dorongan untuk menawarkan bantuannya. "Aku ada nih, belum kumakan sama sekali. Ambil aja," tawarnya sambil menggeser sambal ke arah Nia.
Namun, Nia hanya menatap sambal itu sejenak, sebelum akhirnya mengernyitkan wajah dengan ekspresi ragu. “Maaf, Gem, tapi aku nggak berani makan sambal yang kamu pegang,” katanya, melempar sambal itu ke tong sampah dengan ekspresi jijik yang tak terselubung.
Gemani menelan ludah, hatinya perih. Dia mencoba tersenyum, meski seluruh usahanya untuk berbaik hati justru berakhir dengan penolakan. "Gak apa-apa," ucapnya pelan, namun di dalam dirinya, gemuruh kesedihan terus bertambah. Rasa sakit itu tak hanya ada di tenggorokannya yang perih, tetapi juga di hatinya yang semakin hancur.