Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #25

Langkah Patah di Persimpangan

Akhirnya, setelah sebulan penuh KKN yang menguras fisik dan mental, Gemani bisa menghela napas lega. Pesan di grup program studi memecah kesunyian harinya, menginformasikan bahwa pendaftaran penelitian di BRIN dibuka, dan kesempatan ini datang tepat waktu. Dengan deadline yang masih seminggu lagi, Gemani merasa punya cukup waktu untuk memikirkan topik yang ingin diambil.

Hari itu, Gemani, Sambara, Nana, dan Rohim sepakat untuk bertemu di kedai es krim favorit mereka. Saat mereka tiba, aroma manis es krim yang baru disajikan menyambut mereka, berpadu dengan angin sepoi-sepoi yang sesekali masuk melalui jendela yang terbuka.

Di salah satu sudut, mereka duduk mengelilingi meja kayu bulat, masing-masing dengan es krim favorit mereka yang berwarna cerah. Gemani memilih es krim stroberi, sementara Sambara terfokus pada es krim mangganya yang kental.

“Aku bakal milih topik deep learning,” ujar Sambara, suaranya penuh semangat sambil mengaduk-aduk es krimnya dengan sendok. “Sekarang lagi booming banget, kan? Terutama buat analisis gambar sama suara. Udah gitu, aku juga bisa sekalian nambah portofolio.”

Rohim, yang duduk di sebelahnya dengan senyuman lebar, menimpali, “Deep learning, ya? Keren sih, Bar. Tapi aku tetep lebih tertarik ke bioinformatika. Soalnya bidang ini lagi naik juga, dan kayaknya bakal gede impact-nya di masa depan. Aku sih udah yakin banget mau ambil itu.”

Gemani, yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama, mengambil jeda sejenak. “Hmm... visualisasi data kedengerannya lebih cocok buatku. Aku suka yang berhubungan sama desain dan bikin data lebih mudah dipahami orang awam.” Senyum kecil menghias wajahnya, ditujukan kepada Nana, yang tampak setuju.

Nana mengangguk sambil menyeruput es krim vanilanya, yang perlahan meleleh di atas sendok. “Aku juga ambil visualisasi data, soalnya bener kata Gem, visualisasi bisa ngebantu ngemas informasi yang rumit jadi gampang dicerna. Apalagi, kalo beneran dapet proyek di BRIN, pasti seru banget ngebantu riset yang topiknya berat biar lebih mudah dipresentasikan.”

Sambara menoleh, tertarik dengan apa yang didiskusikan. “Visualisasi data? Seru juga sih. Kalian emang kreatif banget kalo udah urusan presentasi.”

“Tapi,” potong Gemani sambil melirik ke arah laptopnya yang terbuka, “Kita juga harus mikir penempatan pusat penelitiannya, kan? Aku udah cek daftar BRIN yang buka peluang buat topik-topik kita. Kalo Bandung, gimana?”

Rohim mengangkat bahu, “Aku sih oke aja. Asalkan ada es krimnya, semua tempat bisa jadi menarik!”

Sambara tertawa kecil, “Fix Bandung, ya? Wah, nanti aku bakal sering ngajak kalian hunting kuliner juga nih.”

"Kalo makan terus, nanti malah nggak kelar tugasnya,” canda Gemani sambil menggelengkan kepala, tetapi dalam hatinya, ia merindukan momen-momen seperti ini—kebersamaan yang menguatkan semangat.

“By the way,” kata Rohim sambil menatap layar laptopnya, “Deadline-nya tinggal seminggu lagi. Kita harus cepet-cepet submit proposal sebelum kehabisan slot.”

Keempatnya langsung tenggelam dalam kesibukan menyusun proposal penelitian masing-masing. Suara ketukan jari di atas keyboard menyatu dengan suasana yang mulai terasa serius. Laptop-laptop terbuka lebar, menampilkan berkas-berkas yang penuh harapan dan ambisi.

Di luar jendela, sinar matahari sore mengintip masuk, menciptakan bayangan panjang di meja kayu yang sudah mulai mengelupas, seolah menyaksikan pergulatan ide dan kreativitas yang tengah terjadi di dalam ruangan.

Gemani, yang duduk di sudut, merasakan ketegangan di udara. Ia menatap layar laptopnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk proposalnya. Setiap kali ia berusaha fokus, pandangannya melirik ke arah Nana dan Rohim, di mana ketegangan di antara mereka semakin terlihat.

Rohim menatap layar laptop Nana dengan raut wajah serius, seperti seorang kapten yang memimpin anak buahnya. “Nana, metode yang kamu tulis ini nggak detail. Kamu perlu jelasin langkah-langkah visualisasinya secara runtut, sesuai deskripsi kegiatan yang ada di web BRIN."

Nana, yang sudah mulai merasa jenuh dengan diskusi yang berulang ini, hanya menjawab datar. “Iya, aku udah baca, tapi aku rasa ini udah cukup. Nanti kan kita bisa revisi kalau ada kekurangan.”

Rohim langsung menggeleng dengan tegas. “Nggak bisa begitu. Kalo dari awal nggak jelas, bisa-bisa proposal kamu ditolak. Aku udah baca deskripsi kegiatannya, kamu harus tambahin langkah-langkah spesifik sesuai dengan topik visualisasi data yang kamu pilih.”

Lihat selengkapnya