Perut Gemani terus-menerus terasa keroncongan, meski ia sudah makan dengan porsi lebih dari biasanya. Batuknya semakin parah, disertai rasa sakit di dadanya tiap kali ia mengeluarkan dahak yang semakin kental. Demam yang terus naik-turun membuat tubuhnya lemas, dan setiap malam, ia terbangun berkeringat dingin.
Setelah batuk keras yang tak kunjung mereda, ia memutuskan untuk menceritakan keluhannya kepada Teh Iis, kakak kelas semasa MAN yang dulu pernah menderita tuberculosis. Gemani tahu bahwa Teh Iis pernah melalui masa-masa sulit yang serupa, dan mungkin bisa memberinya saran.
“Teh, aku sakit lagi. Rasanya nggak ada perubahan, malah makin parah. Perutku selalu keroncongan, padahal aku udah makan banyak. Batukku juga nggak berhenti-berhenti.”
Teh Iis terdiam sejenak di telepon, mendengarkan dengan seksama sebelum akhirnya berbicara, suaranya lembut tapi tegas. “Gem, kamu udah periksa lagi belum ke dokter? Dulu kamu kan sempat mau lanjutin pengobatan tuberculosis, tapi nggak kelar.”
Gemani menggigit bibirnya, ragu untuk mengakui bahwa dia memang belum sempat kembali ke dokter sejak perawatan awal yang sempat terhenti. “Belum, Teh. Aku sibuk banget sama kuliah, terus masalah-masalah lainnya. Gimana nanti kalau aku harus dirawat inap lagi? Tugas-tugas dan praktikumku gimana?”
Teh Iis menarik napas panjang di seberang telepon. “Gem, kamu nggak bisa terus kayak gini. Kalau kamu nggak ada yang mau lepas sementara, ya bakal susah. Sakitmu nggak akan kelar-kelar. Kakak aku dulu juga mikir kayak kamu, telat penanganan karena sibuk dan akhirnya dia koma tiga hari. Kamu mau sampai kayak gitu?”
Kata-kata Teh Iis membuat jantung Gemani berdetak lebih cepat. Koma tiga hari? Gemani tak bisa membayangkan dirinya terbaring lemah, tak sadarkan diri, sementara tubuhnya berjuang melawan infeksi yang terus menyerang paru-parunya.
“Kamu harus segera ke IGD, Gem. Kalau emang itu tuberculosis, kamu nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Jangan anggap remeh gejala yang kamu rasain. Kadang, kita nggak sadar kalau badan kita udah teriak minta tolong,” lanjut Teh Iis, suaranya semakin khawatir.
Gemani menatap dinding kamarnya yang dingin, pikirannya berkecamuk. Dia tahu Teh Iis benar, tapi perasaan bersalah karena menunda pengobatan, ditambah ketakutannya akan tugas kuliah yang tertinggal, membuatnya ragu. Tapi dengan batuk yang tak kunjung henti, rasa sakit yang makin intens, dan desakan Teh Iis yang semakin kuat, Gemani tahu dia tak punya pilihan lain.
“Oke. Aku bakal ke IGD besok,” kata Gemani akhirnya, suaranya hampir berbisik.
Setelah kelas Proses Stokastik selesai, Gemani mulai merasa tubuhnya semakin lemah. Pusing, sesak napas, dan nyeri di dadanya semakin menjadi-jadi. Ia menatap Sambara yang sedang membereskan laptop dengan tenang, seakan tak ada masalah besar. "Ke rumah sakitnya nanti sore aja, ya," kata Sambara.
"Bar, aku nggak kuat nunggu sampe sore. Badanku udah lemah, napas juga udah sesak banget," kata Gemani sambil memegang dadanya, napasnya terengah-engah.
Sambara menoleh, awalnya tampak ragu. "Kamu yakin sekarang? Jadwal ngasprak kan sebentar lagi. Kita ke IGD sore aja, habis beres praktikum."
Gemani menggeleng pelan. "Aku udah nggak kuat, Bar. Aku mau ke rumah sakit sekarang, naik ojek sendiri juga nggak apa-apa."
Melihat Gemani yang pucat dan semakin sulit bernapas, Sambara terdiam sejenak, memikirkan situasinya. Meski ia enggan meninggalkan jadwal asprak di lab Struktur Data, kondisi Gemani jelas lebih penting.
“Nggak usah naik ojek. Kita naik motor aku aja,” kata Sambara tiba-tiba. "Aku izin ngasprak juga. Kita berangkat sekarang."
Dengan cepat, Sambara meminta izin untuk tidak hadir di jadwal asprak dan mempersiapkan motornya di parkiran. Gemani, yang sudah hampir kehilangan energi, mengikuti di belakang dengan langkah berat. Sesampainya di motor, Sambara membantu Gemani naik ke boncengan, memastikan helmnya terpasang dengan aman.