Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #27

Sakit yang Tak Kunjung Pergi

Gemani duduk termenung di kursi kapal, merasakan setiap gerakan kapal yang melambung mengikuti tarian ombak. Deru mesin menggema rendah, getarannya merambat ke seluruh tubuhnya, seakan mengetuk-ngetuk kedamaian yang ia dambakan. Ia menatap jauh ke cakrawala, di mana langit bergradasi dari biru muda hingga biru gelap, menyatu tanpa batas dengan lautan yang luas. Langit mulai memerah, menciptakan lukisan alam yang memukau namun terasa sepi, sepi seperti pikirannya yang bergolak.

Di sampingnya, ibunya duduk dengan raut wajah yang tak kalah mendung. Matanya tertuju pada permukaan laut, namun tatapan itu tampak kosong, seolah mencari jawaban di kedalaman ombak yang datang dan pergi. Akhirnya, ia memecah keheningan dengan suara lembut namun penuh kecemasan, “Gem, Ibu sebenarnya khawatir banget tentang Ojala…” Ia terdiam sesaat, menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “…Sebelumnya, dia sudah yakin mau daftar di ITB. Tapi anehnya, di hari terakhir pendaftaran SNBP, dia malah ragu. Dia minta pendapat Ibu.”

Gemani menoleh dengan alis berkerut, mengamati wajah ibunya yang samar-samar menyimpan kegetiran. “Kenapa bisa tiba-tiba ragu gitu, Bu? Kan kemarin katanya udah yakin di ITB.”

Ibunya menggeleng pelan, mengingat kembali percakapan mereka yang terasa seperti kemarin. “Iya, seharusnya gitu. Sebelum Ibu berangkat ke Lampung, kita ngobrol panjang, dan dia bilang mantap mau daftar ke ITB.” Suara ibunya sedikit gemetar. “Tapi di hari H, dia tiba-tiba nanya lagi. Bingung, minta saran.”

“Terus, Ibu jawab apa?” Gemani mengejar, suaranya tak ingin melepaskan satu pun detail dari cerita itu.

““Ibu bilang terserah Dede aja. Ibu dukung ke mana pun dia mau, tapi kalo ditanya, Ibu lebih suka kalau dia daftar di Untirta yang dekat. Akhirnya, Ojala mutusin buat daftar di Untirta,” ibunya menjelaskan, nada kecewa tergores di suaranya.

Suara itu, meski tenang, menyimpan gurat kecewa yang tak bisa disembunyikan. Gemani menatap ibunya dengan penuh simpati, merasakan betapa bimbang perasaan yang tengah melanda.

“Kenapa sih dia bisa tiba-tiba berubah pikiran, Bu?” tanyanya, mengusik dirinya sendiri, mencoba merangkai semua ini dengan logika. Ada sesuatu yang mengganjal, seakan keputusan itu datang begitu saja, tanpa alasan yang benar-benar jelas.

Ibunya memandang ke arah lain, seolah takut tatapannya akan mengkhianati isi hatinya. “Ibu juga nggak tahu, Teh. Ibu takut dia nanti menyesal, atau merasa minder kalau lihat teman-temannya masuk ke kampus yang dulu dia impikan.”

Keheningan menyusup di antara mereka, hanya dipecahkan oleh suara debur ombak yang terus bergulung. Ada kekhawatiran yang menghantui, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghempas pantai, tak pernah benar-benar tenang.

“Teh.” Suara ibunya mengusik lamunannya, membuat Gemani tersadar. “Kamu sebagai kakak bantu Dede untuk merasa yakin sama pilihannya. Doakan dia, supaya nanti dia menemukan apa yang terbaik untuk dirinya.”

Gemani menatap mata ibunya yang berkaca-kaca namun mengandung harapan. Ada sesuatu yang hangat dalam tatapan itu, pesan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. “Aku akan dukung, Bu."

Ibunya tersenyum tipis, sebuah senyum yang menyimpan seluruh doa dan harapan yang tak terucapkan. Senja semakin larut, lautan yang terbentang di depan mereka tampak tanpa batas, seolah menyimbolkan perjalanan hidup yang juga tak bisa ditebak. Perjalanan itu terasa lebih panjang dari biasanya, seakan-akan waktu memperlambat langkahnya, memberi mereka ruang untuk merenung.

Gemani kembali memandang ke laut yang tak bertepi, membiarkan pikirannya melayang jauh. Ia tak bisa berhenti berharap, berharap bahwa apapun jalan yang ditempuh Ojala, ia akan menemukan makna di setiap langkahnya, meskipun jalannya mungkin tidak sesuai harapan semula.

Setibanya di pelabuhan Cilegon, senja merangkak turun, menyelimuti kota dengan cahaya keemasan. Hembusan angin membawa aroma laut yang segar, memberi sentuhan hangat pada tubuh Gemani yang lelah. Dengan langkah penuh harap, ia menuruni kapal, menyusuri dermaga yang penuh dengan suara canda dan tawa. Pandangannya langsung tertuju pada sosok ibunya yang berdiri di kejauhan, tersenyum hangat menyambutnya.

Dengan mata berbinar, Gemani melangkah mendekat sambil berbisik pelan namun penuh antusias, “Bu, aku mau makan enak-enak! Stup roti, brownies, terong balado, ayam gulai, sama es cendol, ya!” Kalimat itu keluar seperti anak kecil yang memohon es krim di hari yang panas.

Fikriyyah terkekeh, melipat tangannya di dada sambil menggeleng pelan. “Wah, lapar banget ya? Langsung daftar semua yang enak-enak.” Senyumnya makin lebar. “Gimana kalau kita mulai dengan roti dan brownies dulu?”

“Iya, Bu! Yang banyak ya!” Gemani menambahkan, hampir melompat kegirangan. “Terus nanti kita masak terong balado sama ayam gulai buat makan malam, dan es cendolnya untuk penutup yang manis, gimana?”

Fikriyyah tertawa kecil, mencubit hidung Gemani lembut. “Oke, deal. Kita mampir ke pasar dulu buat beli bahan-bahannya. Semua yang kamu mau, ya!” ujar Fikriyyah, penuh kasih. Gemani hanya bisa mengangguk antusias, membayangkan hidangan yang segera memenuhi meja makan mereka.

Di pasar, hiruk-pikuk pedagang dan pembeli bersahutan, tapi Gemani terlihat tak sabar, berlari ke arah penjual roti. “Bu, kita beli yang ini ya! Dan itu juga!” katanya sambil menunjuk ke arah roti berisi cokelat yang tampak menggiurkan. Matanya hampir tak berkedip melihat roti yang tersusun rapi di etalase.

Fikriyyah menahan senyum, mengamati anaknya yang sudah seperti anak kecil dalam toko permen. “Iya, kita ambil. Itu roti favorit kamu dari dulu,” katanya sambil merogoh dompet.

Keranjang mereka semakin penuh—selain roti, mereka berhenti di stand brownies, dan beberapa potong segera masuk ke keranjang. "Liat, Bu, browniesnya keliatan lembut banget!" ujar Gemani, matanya berbinar, seolah-olah mengantisipasi gigitan pertama yang manis.

Lihat selengkapnya