Fikriyyah duduk sendirian di ruang tamu yang sunyi, dikelilingi bayangan-bayangan masa lalu yang terus menghantuinya. Matanya terpaku pada dinding kosong di seberang, namun di dalam pikirannya, potongan-potongan kenangan melintas seperti bunga-bunga yang tiba-tiba menguncup di musim kemarau. Ada rindu, ada penyesalan—dua perasaan yang kini lebih akrab daripada kedamaian yang entah kapan terakhir ia rasakan.
Kehidupannya seperti ombak yang tak pernah berhenti menghantam, terlebih sejak Gemani sering sakit dan Rafa yang semakin lemah, sering berbaring dengan tubuh yang tampak rapuh. Kecemasan tak pernah lagi meninggalkan hati Fikriyyah, tapi dari semua itu, Ojala yang paling merisaukannya akhir-akhir ini.
Ojala, putrinya yang dulu penuh canda dan semangat, kini seolah menjauh. Anak gadisnya yang dulu tak pernah melewatkan sholat kini kerap termenung, menatap kosong seakan menyembunyikan beban berat di balik mata indahnya yang redup. Fikriyyah tak bisa mengerti; ia merasa telah memberikan dukungan penuh pada Ojala, namun perasaannya yang berubah seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah ia katakan. Kata-kata terakhir Ojala masih bergaung di kepala Fikriyyah, menghantam kesadarannya dengan rasa bersalah yang perih.
“Dede sebenernya terpaksa ke Untirta, Dede boong supaya ibu senang....”
Fikriyyah tertegun, menggigit bibirnya sendiri dalam keheningan yang menyakitkan. Ucapan itu seperti pisau yang menembus jantungnya, perlahan tapi dalam. Ia selalu berpikir dirinya telah menjadi ibu yang baik, memberinya kebebasan penuh untuk menentukan pilihan, tapi kini ia merasa mungkin tanpa sadar telah memengaruhi keputusannya. Mungkin dalam setiap kalimat pujian yang ia berikan untuk pilihan Untirta, ia telah menanamkan sebuah harapan yang akhirnya menjadi beban bagi anaknya.
Ia memejamkan mata, mengingat kembali percakapan-percakapan kecil dengan Ojala. Barangkali ia terlalu sering menyebut Untirta sebagai pilihan yang baik, terlalu sering mengangguk bangga ketika Ojala mulai mempertimbangkan kampus itu. Mungkin, dalam upayanya memastikan kebahagiaan anak-anaknya, Fikriyyah tak sadar jika ia menjadi alasan anaknya memilih jalan yang tak sepenuhnya diinginkan.
Di ruang tamu yang dingin dan sepi itu, Fikriyyah merasa gagal. Ia merasakan ketidakberdayaan yang mencekam, seperti ibu yang tak mampu melindungi anak-anaknya dari beban yang harus mereka pikul. Pikirannya melayang ke Gemani yang harus mengorbankan masa mudanya untuk melawan penyakit, Rafa yang terus berjuang dengan tubuh yang kian lemah, dan kini Ojala, gadis yang pernah ia kenal sebagai sosok penuh semangat, terperangkap dalam mimpi yang setengah hati.
Sejenak, ia hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan pergolakan batin yang merajam hatinya. Ada satu hal yang ia sadari: ia harus berbicara dengan Ojala. Bukan sebagai ibu yang ingin melihat anaknya berhasil, tetapi sebagai sahabat yang mau mendengarkan, tanpa prasangka, tanpa tekanan. Ia ingin memberi Ojala ruang, ruang yang selama ini mungkin ia abaikan, untuk berbicara dari lubuk hatinya, memilih jalannya sendiri tanpa merasa dihantui oleh harapan sang ibu.
Fikriyyah berdiri dengan perlahan, tubuhnya terasa lemah tetapi hatinya bertekad. Ia menyentuh bahunya sendiri, mencoba menarik kekuatan dari dalam yang sempat pudar. Saat ini, lebih dari apapun, ia ingin menjadi pendengar yang lebih baik. Ia berjanji akan membiarkan anak-anaknya benar-benar menjadi diri mereka sendiri, tanpa perlu merasa terbebani oleh harapan orang lain—bahkan jika itu adalah harapannya.