Lobi program studi sains data tampak riuh oleh para mahasiswa tingkat akhir yang sibuk mengurus administrasi—surat kerja praktik, bimbingan proposal, hingga pertemuan dengan dosen.
Di sudut ruangan yang sedikit lebih tenang, Gemani duduk bersama Sambara. Di tangannya, formulir pendaftaran magang tergenggam erat, sementara pikirannya mengembara ke bayangan rencana kerja praktik di Cilegon yang hampir rampung. Ia mengintip sekilas ke arah Sambara yang tampak tenang, menyandar dengan pandangan penuh percaya diri.
Namun, suasana mendadak tegang saat Nana muncul dengan wajah kusut, diikuti Rohim yang tak kalah kusut. Tanpa basa-basi, Nana duduk di hadapan Gemani dan Sambara, menarik napas panjang seolah ingin melontarkan beban yang memberatkan dadanya.
"Gem, Bar," kata Nana dengan nada penuh kemarahan yang terpendam, "aku kesel sama Rohim, dia nih gajelas." Ia melirik Rohim sekilas, lalu kembali menatap Gemani dan Sambara. "Rohim ternyata udah ada kelompok kerja praktik."
Seperti ada yang menahan napas di antara mereka. Gemani menautkan alis, bingung namun tak menyela, sementara Sambara hanya menghela napas panjang, menandakan ketidakpuasan yang mulai menggunung di dalam hatinya.
Nana melanjutkan, nadanya semakin penuh kekecewaan. "Aku pikir aku bisa kerja praktik di Lampung bareng Rohim. Tapi nyatanya, dia nggak bilang dari awal kalo udah bentuk tim sama Dito."
"Aku kira kamu udah ada rencana sendiri," ujar Rohim, seperti mencoba membela diri.
Kata-kata itu menjadi percikan yang menyulut emosi Nana. "Kamu tuh seenaknya! Kalau aku memang mau cari kelompok sendiri, kenapa selama ini kita udah bahas bareng-bareng? Kamu kira aku nggak serius?"
Nada suara Nana semakin tajam, membuat Gemani dan Sambara saling bertukar pandang, keduanya terkejut namun tetap memilih untuk diam. Ruang di antara mereka dipenuhi ketegangan yang seolah bisa diraba.
Setelah menarik napas panjang, Nana akhirnya mencoba meredam kemarahannya, menoleh pada Gemani dan Sambara dengan ekspresi penuh harap. "Kalau kalian nggak keberatan gimana kalau aku join sama kalian aja ke Cilegon?"
Senyap sejenak. Gemani mengangguk perlahan, mencoba memahami situasi ini. Sambara memandang Nana dengan sorot mata hati-hati, namun tetap menjawab dengan nada netral, "Kalau kamu serius, Na, ya kami nggak masalah kok."
Dengan keputusan yang bulat, mereka bertiga melangkah maju, mengurus surat permohonan magang bersama. Namun di sela-sela persiapan, Gemani beberapa kali menangkap pemandangan Nana berbicara serius dengan Rohim di sudut-sudut lorong kampus yang sepi. Gemani merasa ada sesuatu yang mengganjal, namun ia memilih untuk tak terlalu memikirkan.
Hingga akhirnya, di hari mereka siap mengajukan surat permohonan, Nana datang menemui mereka lagi. Kali ini, wajahnya tampak canggung, bahkan sedikit menyesal. Ia memegang formulir pendaftarannya erat, ekspresinya penuh keraguan.
"Aku kayaknya nggak jadi ikut kalian," katanya pelan, namun terdengar pasti. "Aku bakal bareng Rohim lagi, balik ke rencana awal buat di Lampung."
Seketika, Gemani merasakan hantaman perasaan kecewa yang menusuk tajam. Namun, ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Jadi waktu itu kamu cuma sekadar mampir ke rencana kami, Nan?” tanyanya, memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Nana mengangguk lemah, tak mampu menatap mata Gemani. "Aku aku benar-benar bingung, Gem. Maaf."
Sambara, yang sedari tadi tampak menahan emosi, akhirnya angkat suara. “Kamu tuh bikin orang pusing, Na. Kita udah buang waktu buat ngurus ini semua, terus kamu ninggalin begitu aja?”
Nana menggigit bibir, sulit mencari kata-kata yang tepat. "Aku beneran minta maaf," bisiknya hampir tak terdengar.
Melihat ketegangan yang semakin memuncak, Gemani menepuk bahu Sambara pelan, mencoba menenangkan temannya yang terlihat semakin emosi. “Udahlah, Bar. Mungkin ini cara alam semesta bilang kalau kita harus jalani rencana kita sendiri.” Ia tersenyum kecil pada Nana, meskipun dalam hati ia benar-benar kecewa. "Semoga sukses di Lampung ya, Nan."
Hari-hari berlalu setelah pertemuan dengan Nana dan Rohim, meninggalkan perasaan yang tak tuntas dalam benak Gemani. Beban kecewa itu mengendap di hatinya, menambah berat hari-harinya yang sudah penuh tugas dan rencana yang tertunda. Semakin lama, bukan hanya pikirannya yang terasa lelah, tapi juga tubuhnya. Sampai suatu pagi, rasa nyeri di kakinya semakin parah, memaksanya untuk pergi ke rumah sakit.
Pagi itu, rumah sakit tampak ramai; antrean panjang mengular di setiap sudut. Gemani berdiri di depan loket pendaftaran, menggenggam erat formulir sambil menahan nyeri yang terus menjalar. Rasa sakit itu sudah berminggu-minggu mengganggunya, semakin terasa setiap kali ia berjalan atau mencoba menekuk lutut. Bahkan untuk sholat pun, ia kini harus duduk, sesuatu yang awalnya membuatnya merasa canggung tapi perlahan ia terima.
Sambil menunggu, pikirannya melayang pada Sambara yang tengah mengikuti kelas di kampus. Sebelum berangkat tadi pagi, Sambara sempat berkata, "Gem, nanti setelah kelas selesai, aku langsung ke sana, ya. Kamu tunggu aku." Kata-kata itu memberinya sedikit kelegaan, meskipun untuk sekarang, ia tahu harus melewati pendaftaran dan antre sendirian.