Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #31

Menanti Kesempatan di Senja

Setelah sebulan merasakan dinginnya perlakuan Sambara yang tiba-tiba menghilang dari kehidupannya, Gemani akhirnya memutuskan untuk mengakhiri situasi yang menggantung. Seusai kelas, ia memberanikan diri menarik Sambara ke ruang kelas yang sepi, berharap bisa menjernihkan semua. Ia menatapnya, berusaha menahan gemetar di suaranya, "Aku minta maaf, Bar. Aku salah. Aku nggak selalu ngerti perasaanmu."

Sambara mendengarkannya dengan ekspresi datar, dan Gemani merasa semakin terbakar untuk melanjutkan, "Dari dulu setiap ada masalah, aku selalu yang cari kamu duluan, selalu aku yang minta maaf, selalu aku yang jelasin salah kita apa. Aku capek, Bar. Aku juga pengen kamu yang cari aku duluan, yang minta maaf duluan, yang bujuk aku. Sekali aja, susah kah?"

Sambara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar namun dingin, "Aku tau apa yang diinginkan perempuan. Aku peka, Gem. Tapi prinsipku nggak berubah, aku nggak akan minta maaf duluan kalau aku merasa nggak salah. Kamu bukan istri aku. Kita belum satu keluarga, dan kebahagiaan kita belum tentu sepenuhnya beririsan, Gem."

Gemani tercekat mendengar kata-katanya. Rasanya seperti ditikam. Semua upaya yang ia lakukan selama ini seolah tidak ada artinya. Baginya, Sambara bukan hanya kekasih, tapi juga tempat berlindung. Namun kini, kata-kata Sambara mengingatkannya betapa renggangnya hubungan mereka.

"Kalau kamu merasa aku yang selalu salah, dan kamu nggak pernah salah…" Gemani menelan ludah, suaranya bergetar, "Ya sudah, Bar. Udahan aja. Aku nggak mau kayak gini lebih lama."

Sementara itu, Sambara tampak tenang, seperti tidak terpengaruh dengan pernyataannya. "Oh, iya," katanya setelah hening sejenak. "Ngomong-ngomong, kita nggak jadi kerja praktik bareng. Aku nggak ambil mata kuliah kerja praktik, jadi kamu sendiri aja."

Kata-kata itu semakin memperdalam luka di hati Gemani. Rasanya seperti ditambahkan garam pada luka yang sudah terbuka. "Kamu serius, Bar? Ini yang kamu pilih? Kita udah ngebahas ini dan sekarang kamu pergi begitu saja?"

Sambara hanya mengangkat bahu, tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan. "Ya, itu keputusan aku. Aku rasa kita butuh ruang masing-masing. Aku juga nggak bisa berkembang kalau tiap hari sama kamu, Gem."

Kata-kata itu adalah palu godam terakhir yang meruntuhkan pertahanan Gemani. Setiap huruf dari ucapan Sambara terasa seperti serpihan kaca yang menghujani jiwanya, menggores tanpa ampun. Sambara berbalik dan berjalan pergi, meninggalkannya sendirian di ruangan yang kini terasa semakin sempit, semakin sesak. Seolah dinding-dindingnya ikut menjerat Gemani dalam rasa sakit yang tak bisa diungkapkan

Saat sosok Sambara menghilang di balik pintu, Gemani berdiri terpaku, merasakan sesuatu yang patah dalam dirinya. Namun, dalam keheningan yang menusuk, ia merasakan kelegaan samar yang perlahan mengalir—seperti beban berat yang terlepas, meski meninggalkan luka yang tak mungkin sembuh dalam waktu dekat.

Setelah berpisah dari Sambara, hidup Gemani terasa sunyi, seperti ada kekosongan yang sulit diisi. Setiap hari, rasa kehilangan itu diam-diam menggerogoti dirinya, merayap masuk di sela-sela pikirannya. Namun, tekadnya kuat. Ia tak ingin larut dalam kesedihan yang hampa. Sebagai gantinya, ia memilih untuk tenggelam dalam kesibukan, mengalihkan fokus dari luka yang masih membekas.

Dengan langkah yang ragu namun mantap, Gemani mulai mengurus surat magangnya ke Bappeda Cilegon, sesuatu yang dulu selalu ia bayangkan bersama Sambara. Saat ini, ia melangkah sendiri, berusaha menyesuaikan diri dengan segala prosedur dan birokrasi yang kadang terasa rumit. Namun, di tengah kebingungannya, ada perasaan bangga yang perlahan tumbuh. Ia merasa kuat, lebih mandiri—hal yang mungkin tak pernah ia sadari sebelumnya.

Pagi-pagi, Gemani kini terbiasa berjalan kaki dari kontrakannya ke kampus. Dulu, ada Sambara yang selalu setia menemaninya, mengendarai motor sambil bercanda ringan di sepanjang jalan. Sekarang, setiap langkah terasa lebih berat, lebih panjang, terutama pada minggu-minggu awal setelah perpisahan.

Namun, di antara ritme langkahnya, ada ketenangan yang mulai ia temukan. Ia mulai menikmati udara pagi yang segar, suara burung yang berkicau di dahan pohon, dan sinar matahari yang menerobos di antara bangunan kampus. Rutinitas barunya ini, meski melelahkan, memberinya rasa nyaman yang asing namun menenangkan.

Di sisi lain, Olive dan Fatim, yang dulu jarang mengajaknya bergabung, kini setiap hari menawarkan untuk makan bersama. Mereka bertiga mulai rutin makan bareng di kontrakan, mengobrol, dan berbagi tawa. Atmosfer hangat ini membuat Gemani merasa lebih hidup dan diingatkan bahwa ia tidak sendirian

Tidak hanya Olive dan Fatim, hubungan Gemani dengan Nana, Amel, dan Safwa pun semakin erat. Mereka sering berkumpul di kelas, saling bertukar cerita dan menertawakan hal-hal sederhana. Saat salah satu dari mereka merasa kesulitan, yang lain sigap menawarkan bantuan.

Persahabatan yang perlahan terjalin ini membuat Gemani merasa lebih kuat, lebih utuh. Perlahan, ia menyadari bahwa melepaskan Sambara bukan sekadar kehilangan, tapi juga kesempatan untuk mengembalikan keintiman yang dulu terabaikan bersama teman-temannya.

Waktu berlalu, dan tanpa ia sadari, hidupnya mulai kembali berwarna. Gemani belajar menghargai setiap detik rutinitasnya yang kini terasa lebih berarti. Meski bayang-bayang Sambara masih sesekali muncul di pikirannya, ia tahu bahwa ia sudah berada di jalan yang benar untuk menjadi lebih mandiri dan bahagia.

Seperti siang ini, Gemani merasa kelelahan menyelimuti tubuhnya setelah menjalani kelas yang panjang. Langit cerah membara, seolah mencerminkan suasana hatinya yang berusaha bangkit. Kampus sudah ramai dengan mahasiswa yang berlalu-lalang, suara tawa dan percakapan mereka mengisi udara siang yang terasa panas.

Di lobi gedung, Gemani melihat Safwa duduk sendirian di salah satu kursi, wajahnya tampak serius saat menatap layar ponselnya. Ia menghampiri Safwa dengan langkah mantap. "Hey, Safwa! Pulang bareng, yuk, jalan kaki," sapanya, menyebarkan senyum yang tulus.

Safwa menoleh. "Eh, aku lagi nunggu Bu Ane, nih. Mau minta tanda tangan surat rekomendasi MBKM. Duluan aja, Gem."

Lihat selengkapnya