Liburan semester 7, Gemani tiba di Cilegon dengan tujuan jelas: mencari pengalaman melalui magang. Kota yang dulu penuh kenangan masa kecil kini terasa berbeda, sunyi, dan menguji kesabarannya. Satu demi satu, ia menyusun dokumen dan menulis surat permohonan, mengirimnya ke Bappeda Cilegon, tempat yang ia impikan untuk belajar lebih banyak. Namun, dua minggu berlalu, dan tak ada kabar sama sekali.
Hampir setiap pagi ia memeriksa ponsel, berharap ada notifikasi masuk. Harapan yang setiap hari meluruh, membuatnya semakin gelisah.
“Gimana, Teh? Udah dapet kabar belum?” tanya Fikriyyah, di suatu malam ketika mereka duduk di teras rumah. Suaranya lembut, tapi matanya menyiratkan kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan.
Gemani menggeleng pelan, matanya menatap langit yang gelap, “Belum, Bu. Nggak ada jawaban dari mereka.”
Ibunya menarik napas panjang, meraih tangan Gemani dan mengelusnya lembut. “Sabar ya, Teh. Mungkin ada tempat yang lebih baik buat kamu. Coba cari yang lain, siapa tau ada rezeki di tempat lain.”
Diam-diam, Gemani merasa sedikit tersentuh. Tidak ada teman-temannya yang bertanya atau menawarkan bantuan. Mereka sudah sibuk dengan tempat magang masing-masing, sebagian besar berkat koneksi orang dalam yang mereka punya. Hanya ibunya yang setia memberi dukungan, meski dengan senyum yang mencoba menyembunyikan rasa cemas.
Setelah merenung beberapa lama, ia akhirnya memutuskan untuk mengirim surat permohonan ke BPS Cilegon. Tidak banyak ekspektasi yang ia bawa kali ini; baginya, ini lebih kepada ikhtiar terakhir. Namun, tak disangka, tiga hari setelahnya, sebuah email datang. Ia diterima.
Gemani tiba di gedung BPS Cilegon dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bersemangat. Gedungnya sederhana, dengan cat dinding putih yang sedikit pudar, namun suasana di dalamnya terasa hangat. Begitu ia memasuki ruangan, ia disambut oleh Pak Arif, seorang pegawai senior yang dikenal ramah.
“Selamat datang, Gemani! Ini pertama kalinya kamu magang, ya?” tanya Pak Arif sambil tersenyum.
“Iya, Pak,” jawab Gemani dengan senyum canggung.
“Tenang aja, di sini banyak yang bisa bantu. Nih, aku kenalin sama rekan-rekan magang lainnya,” kata Pak Arif, melambai ke arah beberapa orang seusianya.
Gemani terkejut melihat dua perempuan yang tampak sebaya dengannya. Mereka memperkenalkan diri sebagai Nia dan Rina, mahasiswa Ekonomi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Ada juga Bimo, seorang mahasiswa dari STIS yang baru saja menyelesaikan semester enan.
Pada hari pertama makan siang bersama, mereka mulai saling mengenal lebih dalam.
“Udah nunggu lama buat dapet magang di sini, Gem?” tanya Rina sambil menyuap nasi.
Gemani tersenyum masam, menatap makanannya. “Iya, lumayan lama. Sempat kirim ke Bappeda, tapi nggak ada balasan. Akhirnya coba ke sini.”
Nia menepuk bahunya dengan ringan. “Aku juga sempat nunggu lama. Mungkin ini udah jalan kita buat ketemu di sini.”
Mereka tertawa bersama, obrolan ringan perlahan menenangkan hati Gemani. Bimo yang biasanya pendiam pun ikut tersenyum, “Kalau gitu, ayo kita saling bantu selama magang. Biar nggak cuma dapet ilmu, tapi juga teman!”
Hari-hari di BPS Cilegon pun jadi lebih hidup. Setiap pagi, mereka berkumpul di meja masing-masing, membicarakan tugas dan saling membantu jika ada kesulitan. Dalam setiap laporan statistik yang mereka kerjakan, Pak Arif selalu memberikan arahan, dan rekan-rekan seusianya memberikan dukungan.
Selama satu bulan, Gemani belajar banyak, tidak hanya dari pekerjaan, tapi juga dari kebersamaan yang terjalin dengan teman-teman barunya. Pengalaman ini mungkin tak sesuai harapan awalnya, tapi ia akhirnya menemukan bahwa tempat ini lebih dari sekadar tempat magang—ini adalah tempat belajar dan bertumbuh bersama orang-orang yang saling mendukung.
Waktu terus bergulir, membawa Gemani ke tepi kecemasan yang semakin dalam. Seleksi MBKM batch 7, yang telah berkali-kali diundur, kini tampak seperti ilusi yang jauh. Setiap pagi, dengan harapan yang tak kunjung pudar, ia membuka Gmail, menunggu notifikasi yang bisa jadi jawaban dari segala keraguan dan ketidakpastian. Namun, kotak masuknya tetap kosong, seolah waktu bersembunyi di balik bayang-bayang ketidakpastian.