Terjeda

Syifa Fathonah
Chapter #34

Hal Baik Butuh Waktu Untuk Datang

Pagi itu, angin laut yang lembut mengelus wajah Gemani, membawanya sejenak dalam ketenangan yang tak lama ia temukan. Koper 24 inci yang berat kini terseret di belakangnya, menjadi saksi bisu atas perjalanan panjang yang telah ia tempuh untuk pulang. Dengan langkah tertatih, ia menyeberangi dek kapal yang bergetar lembut di atas ombak, sementara tubuhnya masih beradaptasi dengan keletihan yang tersisa.

Saat harus menaiki tangga kapal, seorang bapak paruh baya yang tak ia kenal menghampirinya, menawarkan bantuan. “Ayo, Nak, biar saya bantu,” katanya sambil tersenyum ramah.

Senyum kecil tersungging di bibir Gemani, meski pikirannya masih berkelana, penuh dengan beban yang tak henti menghantui. “Terima kasih, Pak,” balasnya pelan. Kebaikan sederhana itu berhasil mencairkan sedikit dari kepenatan yang ia rasakan.

Di hari kedua di Cilegon, ia menemani ibunya menjenguk Ojala di kost. Saat sampai di sana, pemandangan yang menyambutnya langsung memicu helaan napas panjang. Kamar Ojala berantakan, dengan pakaian kotor yang tersebar di lantai dan piring-piring tak terurus di meja. Ibunya segera bergerak, membereskan kekacauan itu dengan cekatan. Gemani hanya menggeleng lemah, menahan amarah yang perlahan merayap.

“Kamu belum cuci baju juga, Jal?” tanyanya, mencoba tetap tenang meski nadanya terasa getir.

Ojala, yang duduk di kasur sambil menatap ponselnya, hanya mengangkat bahu tanpa peduli. “Gak ngerti caranya,” jawabnya singkat, tanpa usaha sedikit pun untuk bangkit.

Gemani berusaha bersabar, menarik napas dalam. "Aku ajarin cara nyucinya kalau kamu mau, Jal. Kalau udah bisa, nanti gampang."

Namun, bukannya berterima kasih, Ojala malah mendengus. “Gak usah, mending laundry aja,” balasnya acuh, kembali sibuk dengan ponselnya.

Gemani menggigit bibirnya, mencoba meredam perasaan yang memuncak. Ia akhirnya tak tahan dan berkata, “Kamu ini, belajar mandiri dong kalau ngekos. Kasihan ibu, tiap minggu harus ke sini cuma buat ngasih uang sama beresin kamar kamu! Masa kamu gak bisa usaha sendiri?”

Tanpa merasa bersalah, Ojala malah mendelik kesal ke arah kakaknya. “Berisik banget sih, Teh! Gak usah ikut campur. Ibu aja gak ngomel-ngomel kok!”

Kata-kata itu seperti menghantam dada Gemani. Daripada memperpanjang, ia memilih mundur, keluar dari kamar sambil menahan kekecewaan yang kini menggenang di matanya. Di luar, Gemani berjalan cepat menuju We Drink, tempat favoritnya untuk meredakan segala yang menyesakkan.

Di We Drink, ia memilih tempat di sudut, jauh dari keramaian, menatap minumannya yang tetap dingin tanpa disentuh. Hatinya terasa perih. Ia tahu ibunya telah banyak berkorban untuk mereka berdua, tetapi melihat Ojala bersikap seakan tidak peduli sungguh menyayat.

"Kenapa Ojala gak pernah mau memahami?" pikirnya dalam hati, perasaan berkecamuk. "Apa dia gak paham betapa ibu bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kita? Bukannya mencoba mengerti, malah bersikap seperti ini."

Dengan tatapan kosong, ia menatap jendela, menyaksikan lalu lalang orang yang tak ia kenal, berharap adiknya suatu hari akan sadar dan lebih menghargai perjuangan ibu mereka.

Keesokan harinya, sebelum kembali ke Jakarta, Gemani menyempatkan diri mengunjungi Mbok di rumah. Mbok menyambutnya dengan senyum lembut, tatapan hangatnya seolah mampu menenangkan segala gundah di hati. Saat mereka duduk di ruang tamu yang sederhana, Mbok menggenggam tangan Gemani, tatapannya penuh kasih dan harap.

“Mbok tiap hari berdoa buat Nong, supaya sukses dan bahagia,” ucapnya tulus. “Kalo Nong berhasil, Mbok bakal buat selametan, saking bahagianya liat Nong sukses.”

Lihat selengkapnya