Meskipun cuaca cerah dan terasa terik, tapi Uzy merasa seperti disambar petir mendengar perkataan Paman Ali barusan. Uzy terperangah. Ia telah salah sangka, ternyata pikirannya bahwa Paman Ali lah yang membiayai dirinya untuk masuk kuliah telah keliru.
“A-aku pikir, Paman yang membayariku,” cetus Uzy setelah rasa terkejutnya mereda.
“Oh, bukan! Ibumu yang bayar. Paman hanya sanggup membantu biaya kuliah setiap semester saja,” jelas Paman Ali, meluruskan kesalahpahaman di pikiran Uzy.
“Nah, kita sudah sampai,” kata Paman Ali.
Uzy mengamati sekeliling. Jalan kecil beraspal tipis yang mereka lalui, khas perkampungan di pinggiran kota. Rumah-rumah yang dibangun tak beraturan arah depannya menambah keyakinan Uzy, bahwa tempat tinggal Paman Ali berada di tepi kota.
Sepeda motor Paman Ali berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup besar. Beberapa pohon besar tumbuh di depan rumah. Ditilik dari gaya bangunannya, memang itu rumah tua.
“Ayo masuk,” ajak Paman setelah melepaskan helm dan jaketnya.
Uzy mengikuti langkah Paman Ali mendekati pintu rumah.
“Bu! Bu! Assalamu’alaikum,” seru Paman Ali sambil mengetuk pintu keras-keras.
Setelah menunggu sejenak, ada langkah-langkah kaki yang berlari ke arah pintu depan. Bunyi anak kunci diputar menyusul setelahnya. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk muncul di hadapan. Senyumnya terkembang saat melihat Uzy dan Paman Ali.
“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang, Pak? Tadi Ibu sedang mengambil jemuran pakaian di belakang,” ocehnya dengan suara ramah.
“Uzy, ini bibimu,” kata Paman Ali seraya menoleh ke arah Uzy.
“Assalamu’alaikum, Bi. Apa kabar?” sapa Uzy sopan.