Aku menghela napas cukup lama sebelum kalimat ini kutulis. Mau nulis kalimat selanjutnya saja rasanya harus tarik napas yang lama lagi. Takut salah. Padahal cerita ini ditulis bukan untuk dibenarkan.
Oke, aku mulai deh. Semoga apa yang kutulis di tengah derasnya hujan pukul 12.21 siang ini tidak berakhir membuatku meneteskan air mata meski mustahil kedengarannya. Iya, di sini sedang hujan deras. Pas banget dengan aku yang lagi kangen seseorang sambil ditemani musik yang cukup galau.
Hilang - Ratih Pradnyaswari.
Aku sedang mendengarkan lagu tersebut. Entah liriknya yang memang sangat tepat untuk menggambarkan diriku saat ini, atau justru Ratih-lah yang menyanyikan lagu ini dengan penuh nyawa hingga tiap baitnya mengalun dengan indah, menyampaikan pesan lagunya dengan baik.
Saat aku menulis ini, berarti aku sedang berproses melupakannya, seseorang yang berhasil membuatku mengaguminya diam-diam selama satu tahun enam bulan lamanya, seseorang yang juga berhasil membuat pertahananku runtuh dengan cara mengungkapkan perasaanku padanya. Iya, manusia dengan gengsi yang tingginya melebihi puncak Gunung Rinjani ini mengutarakan perasaannya pada seseorang, untuk pertama dan terakhir kalinya. Sebab aku yakin, tak akan lagi kutemui manusia seperti dia. Tidak perlu kudeskripsikan sekarang sebab jika berkenan, kalian bisa membacanya nanti.
Semoga saja saat cerita ini berani kupublish, aku sudah menemukan separuh diriku yang sengaja kuhilangkan untuk ditemukan oleh orang lain, yang nantinya akan menjadi satu-satunya manusia yang membuatku merasa utuh dan cukup saat bersamanya. Semoga saja.