Aku menuliskan ini dengan ditemani sisa hujan yang masih berjatuhan ke bumi. Lagi-lagi dengan ditemani sebuah lagu. Mau menulis apa pun, yang terpenting harus ada lagu yang menemani. Kenapa bisa begitu? Satu-satunya alasan yang paling masuk akal adalah... Karena aku adalah penikmat musik.
Aku menuliskan ini ketika sebagian dari diriku yang sepenuhnya sempat kuberikan untuk dia, telah kembali. Belum utuh. Tentu saja belum utuh sebab baru separuhnya yang kembali. Separuhnya lagi ke mana? Entah! Aku sendiri tidak tahu separuh diriku yang lain berada di mana. Entah masih menjadi tahanan yang tidak pernah ditahan namun memaksa untuk ditahan olehnya meski dengan penuh rasa enggan, atau justru tanpa sengaja sudah kuhilangkan untuk ditemukan oleh seseorang yang mau bersama-sama denganku.
Jika ditanya menyesal atau tidak telah mencintainya meski berujung tak pernah bisa bersama, maka jawabannya adalah tidak. Tidak pernah ada penyesalan sebab perihnya rasa sakit sudah berkawan dengan hati. Bukan, bukan budak cinta. Tapi terserah kalian deh mau menyebutnya dengan apa. Aku tidak mau ambil pusing.
Maka untuk mengetahui bagaimana caraku menemukan manusia seantik dirinya, lanjutkanlah membaca jika berkenan menikmati setiap luka yang singgah namun dengan tidak tahu dirinya meminta menetap. Ah, harus kuperingatkan lagi. Cerita ini tidak ditulis untuk membuat kalian senang. Cerita ini ditulis karena aku takut lupa dan untuk menitipkan pesan. Tidak akan kuberitahu pesannya selain dengan cara membaca cerita ini sampai tuntas.
Tiga tahun yang lalu.
Ciasem, Agustus 2017.
Jadi, bagaimana rasanya menjadi murid SMA?
Ah, menyenangkan! Tentu saja. Aku sudah berkenalan dengan banyak orang hari ini, di hari pertama bertemu teman sekelas setelah tiga hari sebelumnya harus melewati Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Singkatnya, MPLS. Biar kuabsen nama-namanya.
Yang pertama ada Nurul yang jago nyanyi dangdut. Aku mengetahuinya sejak SMP karena dia bintang kelas selama tiga tahun berturut-turut, sama sepertiku. Lalu Dara—teman semeja Nurul sekaligus teman sekampungnya—yang tinggi tubuhnya sepadan dengan Fatimah. Dara dan Nurul duduk di barisan pertama dari pintu dan barisan ketiga dari depan, tepat di belakang tempat dudukku dan Fatimah. Ah iya, Fatimah adalah sahabatku. Kami sudah saling kenal sejak tiga tahun yang lalu. Sungguh takdir yang menyenangkan sebab bisa sekelas dengan Fatimah selama tiga tahun ke depan. Dengan begitu, Fatimah dan aku akan resmi menjadi teman sekelas selama enam tahun hidup di dunia.
Lalu aku berkenalan dengan perempuan yang wajahnya seperti orang arab, yang ternyata menghabiskan masa SMP-nya sebagai santriwati di sebuah pondok pesantren. Sudah cantik, tubuhnya putih, ramah lagi. Aku dan Fatimah bahkan tak perlu repot-repot mengajaknya berkenalan karena ia yang duduk di barisan kedua dari pintu dan barisan pertama dari depan itu lebih dulu menghampiri kami lantas mengulurkan tangan kanannya seraya menyebut namanya, "Aqilla." Begitu ia memperkenalkan dirinya.
Sudah. Hari ini sudah cukup dengan tiga orang. Tiga orang saja sudah cukup banyak untuk ukuran manusia sejenis diriku yang pada masa awal SMP dulu, tidak berani mengatakan sepatah kata pun, apalagi mengajak orang lain kenalan.
"Kita mikirnya kamu tuh anti sosial tau, Lul," ungkap Fatimah saat itu, setelah setengah tahun kami saling kenal dan bersahabat.
Selain Fatimah, aku memiliki enam sahabat lainnya di SMP. Irish, Sena, Rissa, Lisya, Arina, dan Ratih yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena hamil diluar nikah. Aku cuma bisa menghela napas panjang saat mengetahui kabar buruk tentang Ratih sebelum akhirnya mendiamkannya selama dua minggu. Aku kecewa. Tentu saja. Apalagi Ratih dan aku sudah seperti anak kembar yang setiap hari ada saja persamaannya. Bahkan kami membeli sepatu yang sama dari hasil nabung selama dua bulan. Belum lagi, aku dan Ratih pernah aktif di OSIS selama dua tahun. Anak-anak OSIS jelas menanyakan kabar kehamilan Ratih padaku. Dan aku cuma bisa mengatakan, Tidak tau. Tanya saja pada yang bersangkutan.
Tapi setelah dua minggu berlalu, aku sadar dan meminta maaf pada Ratih. Ratih memang melakukan kesalahan. Bukan kesalahan kecil pula. Tapi mendiamkannya terus-menerus tidak akan mengubah keadaan. Ratih telah memilih jalan hidupnya sendiri, meski tidak pernah direncanakan sebelumnya. Musabab keenam sahabatku sudah memaafkan Ratih, maka kupikir, dua minggu sudah menjadi bukti yang cukup untuk menunjukkan seberapa kecewanya aku pada dia. Dan sekarang, kami sudah baik-baik saja.
Hidup bukan cuma perkara mengikhlaskan atau diikhlaskan, bukan? Tapi juga perkara memaafkan dan dimaafkan. Egois sekali rasanya jika aku yang cuma manusia ini tidak bisa memaafkan teman sendiri padahal yang Maha Menciptakan mau memberi ampun jika seorang hamba memohon ampunan pada-Nya. Demikian hidup harus dijalani. Sepelik apa pun alurnya.
Bara
Lan...