Empat hari berlalu usai diadakannya Perjumsa. Sungguh kegiatan Perjumsa sangat berkesan meski melelahkan. Sekarang aku mulai paham kenapa emak selalu melarangku untuk ikut serta dalam eskul Pramuka. Sebab sepulang dari Perjumsa saja, tubuhku langsung ambruk. Aku demam. Memang lemah sekali.
Hari ini adalah hari Rabu. Maka untuk mematuhi aturan sekolah, aku mengenakan rok abu dengan atasan seragam kotak-kotak. Mereka bilang, batik. Padahal jelas-jelas motifnya kotak-kotak. Entah siapa yang salah karena para guru pun menyebutnya sebagai 'batik'. Aku cuma mencoba mengemukakan pendapatku. Namun masalahnya bukan itu. Melainkan aku yang berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Padahal jadwal piketku adalah hari Senin.
Dengan langkah biasa, aku melewati lapangan belakang yang biasa digunakan untuk upacara sekaligus olahraga. Sepagi ini, hanya ada beberapa tanda-tanda kehidupan yang kulihat di sekitar. Hingga kutemukan seseorang sedang memulung sampah dan memasukkannya ke tempat sampah di hadapannya, langkahku terhenti secara otomatis padahal tidak ada yang memerintahkannya. Aku tertegun.
Tiga langkah di depan dari tempatku berdiri, lelaki itu masih fokus pada apa yang dikerjakannya. Ia tidak menyadari kehadiranku sebab terlampau fokus pada sampah-sampah itu.
"Lulana!" panggil Naylin dan berhasil membuatku tersentak.
Aku mengenal Naylin sejak akhir kelas sembilan. Kami satu SMP namun berbeda kelas. Dan sekarang takdir mempertemukan kami di kelas yang sama.
Gadis berambut galing dan bermata sipit itu tengah berdiri di ambang pintu kelas dengan sebuah sapu di tangannya. Lantas aku membalasnya dengan senyuman. Sebelum memutuskan untuk menghampiri Naylin, aku lebih dulu mencari keberadaan lelaki itu. Menegangkannya, ternyata yang dicari sedang menatapku dengan sorot mata yang tajam dan raut tanpa ekspresi.
"Mau lewat?" tanyanya, masih dengan raut tanpa ekspresi.
Dengan kegugupan yang tak kunjung usai, aku mengangguk. Lelaki itu lantas beralih dari tempatnya. Ia memberiku jalan untuk dilewati. Sebab memang, sedari tadi jalannya ditutupi oleh lelaki itu.
"Udah piketnya?" tanyaku setelah sempurna berdiri di hadapan Naylin.
Naylin mengangguk. "Udah. Masuk, yuk! Tugasku belum selesai semua. Ada beberapa soal yang belum dikerjakan."
Kami memasuki kelas. Naylin berjalan ke tempat duduknya. Dan sialnya, aku menyadari bahwa tempat duduk paling belakang, tepat di belakang tempat duduk Naylin adalah tempat duduk milik lelaki yang masih melanjutkan kegiatan memulung sampah itu. Tanpa pertimbangan, aku berdiri dari tempat dudukku yang bersebelahan langsung dengan dinding dan jendela. Diam-diam aku mengintip lelaki itu dari sini. Sejujurnya aku masih tidak menyangka dengan apa yang dilakukannya sejak tadi.
Baik, aku deskripsikan ulang.
Pagi ini, seorang lelaki sedang memulung sampah di depan kelasnya karena tugas piket. Lelaki itu memulung sampah dengan menggunakan kedua tangannya. Tanpa perantara sama sekali. Dia tidak merasa jijik dan sebagainya. Dia memperlakukan sampah seperti sesuatu yang tidak apa-apa bila dipegang langsung menggunakan kedua tangannya.
Oke, aku juga sering melakukannya saat mengerjakan pekerjaan rumah yang emak berikan. Tapi aku adalah seorang perempuan yang sangat wajar bila melakukan hal tersebut. Masalahnya, dia adalah seorang lelaki. Sepanjang mengenal lelaki, baru kali ini aku menemukan yang sejenis dirinya. Harusnya itu tidak menjadi masalah. Tapi kenapa aku amat tak bisa menutupi rasa kagumku atas tindakannya?
Apa yang akan kalian lakukan jika berada dalam posisiku saat ini? Merasa biasa saja dan mengatakan aku lebay, atau justru sama seperti reaksiku sekarang?
Sial!
Lelaki yang kuketahui melalui absen dari guru bernama Fajar Pradipta itu menemukan keberadaanku. Ia masih menatapku dengan tatapan yang sama dengan yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Kegugupanku yang bertambah menjadi tiga kali lipat dari sebelumnya memaksaku untuk duduk dengan segera. Nahasnya kakiku tak sengaja bertabrakan dengan kaki kursi hingga membuatku memekik cukup kencang.
Teman-teman sekelas yang mulai berdatangan melemparkan tatapan seolah bertanya, "Ada apa, Lul?" tapi hanya Naylin yang berhasil menyuarakannya.
Aku meringis, memijat mata kaki kananku. Tapi masih bisa mengatakan, "Gapapa, Nay. Kepentok sedikit doang kok," ujarku.
Tapi Naylin tetap menghampiriku dan mengecek kakiku. "Bagian mana yang kepentok?"
"Ini," kataku menunjuk mata kaki kananku.
"Ke UKS, ya?"
Maklum, selama SMP Naylin aktif di PMR.
"Enggak, Nay. Gak usah. Cuma perih sedikit aja. Nanti juga hilang sendiri," tolakku dengan halus.
"Beneran gapapa?"
Aku mengangguk, berusaha meyakinkan. "Nanti kalau perihnya gak hilang-hilang, aku pasti bilang, kok. Lebih baik sekarang kamu selesaikan tugasmu."
Bersamaan dengan Naylin yang kembali ke tempat duduknya, Pra memasuki kelas, melewati barisanku, dan berhenti di barisan paling belakang lalu menaruh sapu ijuk di sana. Aku yakin seratus persen lelaki itu sempat menaikkan salah satu alisnya sambil melirik saat melewatiku tadi. Namun saat aku mulai mencoba mencari kebenarannya, ia justru tak menoleh sama sekali padaku. Pra hanya berjalan menuju kursinya dengan pandangan lurus ke depan.
πΆππΆ
Sudah berulang kali nama Bara muncul di layar ponselku. Sejak malam itu, Bara memang rutin meneleponku setiap malam. Dan hari ini adalah kali pertama Bara meneleponku pada siang hari. Malas, aku memutuskan untuk tidak menerima telepon darinya. Lagi pula ponselku dalam mode diam. Jadi ya sudah, abaikan saja.
"Lul, hp kamu kedip-kedip mulu dari tadi," Fatimah yang duduk tepat di samping kananku bersuara.
Fyi, aku dan Fatimah sedang berada di kursi masing-masing sambil menikmati cireng yang tadi kami beli di kantin. Wajar bila Fatimah akhirnya merasa terganggu karena layar ponselku menyala-mati terus padahal dia sedang menceritakan sesuatu.
"Telepon dari Bara, Fat. Males ah..." lirihku.