TERKA

Tetes Sedan
Chapter #4

TERKA #3

Sebenarnya, hari itu aku tidak hanya berkenalan dengan Aqilla, Nurul, dan Dara. Namun aku juga memperhatikan salah seorang lelaki yang sekelas denganku. Lelaki itu adalah Fajar Pradipta. Entah kenapa aku ingin memanggilnya dengan sebutan Pra, setelah mengetahui namanya saat wali kelas mengabsen. Tidak ada yang menarik darinya. Rambut rapi dan seragam atasan yang dimasukkan ke dalam celana panjangnya jelas menunjukkan bahwa dia adalah murid yang patuh. Berbanding terbalik dengan Gazza yang sejak hari pertama melihatnya, penampilannya sudah urakan sekali. Menurut akal sehat, seharusnya aku lebih tertarik untuk memperhatikan Gazza yang kelihatannya memang mencari perhatian.

Anehnya, Pra berhasil membuatku tak bisa berhenti mencuri pandang padanya. Hingga aku menghafal beberapa hal yang melekat dalam dirinya hari itu. Beberapa yang kumaksud adalah sepatu lusuh yang dikenakannya, tas dengan banyak bros berbentuk lingkaran khas anak pramuka, juga buku keramat bersampul cokelat yang tidak dimasukkannya ke dalam tas sejak masuk hingga keluar kelas.

Di hari-hari berikutnya, aku masih belum bisa berhenti memperhatikannya secara diam-diam hingga aku tahu bahwa dia adalah sosok manusia yang tidak akan berbicara sebelum ada yang bertanya. Seirit itu tutur katanya. Aku yakin siapa pun yang menjadi kekasihnya akan tersiksa dan jelas merasa bosan. Kuakui, dalam pandanganku, Pra adalah manusia yang membosankan. Maka ketika kemarin ditatap seperti itu olehnya, aku benar-benar gugup. Hingga hampir lupa caranya bernapas.

"Ana, sarapannya dimakan dulu," Emak menyadarkanku dari lamunan.

Aku melirik jam dinding yang jarum pendeknya sudah berada di antara angka enam dan tujuh, sedangkan jarum panjangnya tepat menunjuk angka delapan. Buru-buru aku meneguk segelas air mineral.

"Ana sarapan di sekolah aja, Mak. Udah siang," kataku lantas mencium punggung tangan Emak dengan satu tangan lainnya terulur ke meja untuk mengambil sekotak bekal yang berisi nasi beserta lauknya.

Kesalahanku pagi ini adalah memikirkan Pra hingga berakibat kesulitan mendapatkan angkutan umum. Dari daerah tempat tinggalku, jika menunggu angkutan umum melebihi jam setengah tujuh, maka sulit sekali menemukan angkutan umum yang tidak penuh penumpang. Kalau pun ada, harus menunggu jam tujuh kurang sepuluh menit. Masih untung kalau angkutan umumnya tidak berhenti dulu di pasar supaya mendapatkan banyak penumpang. Sebab andai hal itu terjadi, maka aku akan telat masuk gerbang utama sekolah yang ditutup tepat pukul tujuh lewat dua puluh menit.

Terpaksa, aku naik angkutan umum yang nyaris penuh. Aku bahkan harus duduk berdesakan dengan penumpang lainnya. Tapi tidak apa-apa. Yang terjadi saat ini jauh lebih baik dari pada telat dengan status yang masih junior di sekolah.

Sepuluh menit berlalu, keadaan angkutan umum mulai normal karena beberapa waktu lalu ibu-ibu yang berprofesi sebagai buruh pabrik sudah turun. Angkutan umum yang kutumpangi menepi. Karena posisi dudukku sejajar dengan pintu, aku pun dapat melihat seseorang yang baru saja masuk. Ia duduk di belakangku. Karena rasa ingin tahuku tidak bisa ditepis dengan mudah, kuputuskan untuk menoleh.

Kira-kira selama dua detik aku memperhatikannya sebelum kembali meluruskan pandangan ke depan. Orang tersebut memang tidak melihatku. Dia bahkan sempurna memperhatikan jalanan melalui jendela. Namun entah salah lihat atau bagaimana, sekilas aku melihat wajah orang tersebut mirip Pra. Ya, dia lelaki. Lelaki dengan seragam kotak-kotak yang sama seperti yang kupakai saat ini.

"Mungkinkah?"

πŸŽΆπŸ“ƒπŸŽΆ

"Tapi Dipta ke sekolah pakai motor, Lul!" kukuh Fatimah setelah aku menceritakan seseorang yang kulihat di angkutan umum.

Sialnya aku lebih dulu turun dari angkutan umum hingga tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi aku yakin, dia berjalan beberapa langkah di belakangku. Aku yang berjalan beberapa langkah di depannya ini, jelas tidak memiliki keberanian untuk menoleh ke belakang.

"Makanya aku juga bingung, Fat. Apalagi ketika tiba di kelas dan ternyata dia udah ada di kelas," ujarku dengan ekor mata yang tak sengaja menunjuk ke arah Pra berada.

Sekarang Fatimah terang-terangan mengarahkan pandangannya pada Pra.

"Saat aku datang, dia udah duduk di kursinya. Dan sejak aku datang, buku tebal itu enggak lepas dari matanya," bisik Fatimah dengan sesekali membulatkan matanya.

"Maksudnya, dari tadi dia nyender di punggung kursi sambil baca buku?" tanyaku, berusaha memastikan.

Masih memperhatikannya, Fatimah mengangguk. "Persis seperti yang kamu lihat sekarang,"

"GILA!" pekikku.

Dan sekarang ada yang lebih gila dari penilaianku terhadap Pra. Yaitu... Mata Pra yang mendadak menatapku dengan tatapan penuh peringatan. Dari tatapannya, secara tersirat ia menyuarakan bahwa dirinya terganggu dengan pekikanku. Kalau saja matanya tidak seperti ditarik kembali oleh buku keramat itu, mungkin aku akan lupa caranya bernapas lebih lama lagi.

"Lul, kamu nyaris dalam masalah," bisik Fatimah lagi.

Sumpah demi apa pun, suasana kelas sejak aku datang sudah ramai. Tapi kenapa hanya pekikanku yang berhasil mengganggu konsentrasinya? Menyebalkan sekali!

"Sayangnya aku enggak minat terlibat masalah dengan manusia yang irit bicara," tutupku.

Sebelum memutuskan untuk membuka kotak bekal sarapan, aku sempat melihat Fatimah mengedikkan bahu. Entah dengan maksud apa.

Menyebalkannya, sepanjang menghabiskan sarapan, pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan lelaki aneh itu. Padahal aku berada di ruang yang sama dengannya. Akal sehatku jelas-jelas memberi peringatan untuk tidak memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya dipikirkan. Tapi memang demikianlah aku, dengan segala hal tidak penting yang memaksa dipikirkan.

Saat layar ponsel menyala, barulah aku berhenti memikirkannya.

Rizki

Lihat selengkapnya