Keputusanku tetap tidak bisa diganggu gugat dalam menentukan esktrakurikuler yang akan kuikuti selama di SMA. Sanggar seni adalah pilihan mutlak. Fatimah, dengan sedikit paksaan dariku, akhirnya ikut kumpul bersamaku dan calon anggota sanggar seni lainnya. Setengah dari ruangan seni yang cukup besar ini penuh oleh banyaknya calon anggota. Bahkan banyak teman sekelasku yang hadir di sini. Ada Aqilla, Naylin, Sabrina, Latifa, Dara, Nurul, Aksa, Lintang, Gazza, Raya, Reina, Rahma, Santi, dan Dona. Dari tiga puluh enam murid kelas sepuluh IPA 5, sebanyak enam belas murid berminat mengikuti eskul sanggar seni. Termasuk aku dan Fatimah.
Kami tidak banyak bicara karena senior hanya meminta kami untuk mendengarkan. Setelah sang ketua memberi penjelasan singkat mengenai sanggar seni, akhirnya kami diperbolehkan pulang dan diminta datang kembali pada hari Jumat, setelah KBM berakhir. Tak lupa, mereka meminta kami untuk memakai celana olahraga serta kaus atasan berwarna hitam. Tidak ada yang salah dari permintaan itu sebab sekarang para senior memang memakai pakaian tersebut.
"Lul, pulang sama siapa?" sambil memakai sepatu, Naylin bertanya.
"Sendiri, Nay," jawabku seadanya.
"Udah setengah lima. Aku antar kamu sampai pasar, ya? Supaya gampang cari angkutan umumnya,"
Pasar yang dimaksud adalah pasar Sukamandi. Jaraknya tidak jauh dari sekolahku. Tapi kalau jalan kaki, pasti capek untuk sampai ke sana.
"Boleh," kataku.
Sejak mendiskusikan eskul apa yang akan diikuti tadi pagi di kelas, aku, Fatimah, Naylin, Latifa, dan Sabrina mendadak dekat. Seharian ini kami ke mana-mana bersama. Mulai dari ke kantin saat jam istirahat pertama, ke musala saat azan zuhur berkumandang, hingga ke ruang seni usai solat asar. Bahkan tadi Fatimah pulang dibonceng Latifa. Tempat tinggal Fatimah, Latifa, dan Sabrina memang searah. Bedanya, tempat tinggal Fatimah tidak jauh dari sekolah. Makanya ia sering berjalan kaki untuk sampai ke sekolah. Sementara itu, tempat tinggal Naylin searah dengan tempat tinggalku. Namun tempat tinggal Naylin masih berada di daerah Sukamandi, Ciasem Girang. Sedangkan tempat tinggalku di daerah Ciasem bagian hilir. Jarak keduanya cukup jauh. Kalau menggunakan motor bisa memakan waktu sepuluh hingga lima belas menit, atau lebih dari itu.
"Makasih ya, Nay," kataku setelah turun dari boncengan Naylin.
Naylin mengangguk seraya tersenyum. Lantas kami menyalami punggung tangan satu sama lain secara bergantian.
"Hati-hati, Lul."
"Hati-hati juga, Nay."
Demikian kami berpisah sore ini. Naylin berlalu dan aku menaiki angkutan umum yang ada. Hanya ada tiga penumpang, termasuk aku. Meski begitu, sang sopir langsung mengemudikan angkutan umumnya. Aku, yang sengaja duduk di dekat jendela, memilih memperhatikan jalanan. Sudah sore dan jalanan semakin ramai. Mungkin karena sudah waktunya buruh pabrik pulang. Tapi kuyakini tidak hanya satu dua manusia yang keluar rumah untuk sekadar jalan-jalan sore.
Aku tersentak. Seseorang yang kukenal baru saja melewati angkutan umum yang kutumpang. Meski sekelebat, aku yakin orang itu adalah Pra. Tak mau salah lihat, akhirnya kepalaku bertindak, terus bergerak-gerak, melihat ke depan. Dan tidak membutuhkan waktu lama bagiku untuk menemukan keberadaan Pra. Karena sekarang, lelaki itu mengendarai sepeda motornya tepat di depan angkutan umum yang kutumpang.
Dia baru pulang juga?
Pertanyaan itu yang terlintas dalam bentaku. Intuisiku meyakini bahwa Pra juga mengikuti salah satu eskul hingga pulang sesore ini. Anehnya, sepanjang perjalanan pikiranku tak bisa berhenti menebak-nebak eskul apa yang ia ikuti. Kalau dikaitkan dengan bros yang menempel di tasnya, bukan tidak mungkin lelaki itu mengikuti eskul pramuka. Yang pasti, manusia sedatar dirinya tidak mungkin bergabung dengan eskul PMR.
🎶📃🎶
Malam ini adalah malam Sabtu tapi aku baru bisa bersantai setelah jam sembilan, tepat setelah menyelesaikan setumpuk tugas yang dikumpulkan minggu depan. Menjadi salah satu murid di SMA favorit yang ada di daerahku adalah hal yang tidak pernah terlintas. Tidak sekali pun. Sebab Emak selalu memintaku untuk melanjutkan pendidikan di sekolah swasta yang berada di daerah Pamanukan. Setelah berhasil masuk ke sekolahku saat ini, Emak baru mengutarakan alasannya tidak pernah mengizinkanku masuk SMA negeri. Emak bilang, Emak takut nilaiku tidak memenuhi kriteria. Apalagi untuk masuk sekolah favorit.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, untuk bisa masuk ke SMP impianku, NEM-ku berada di kategori nilai minimum yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Meski akhirnya aku dan kedua temanku berhasil masuk ke SMP impian, ternyata Emak masih mengkhawatirkan. Namun keputusan Emak untuk tidak menyekolahkanku di SMA negeri ternyata ditentang oleh saudara Bapak yang notabenenya adalah seorang guru di SMP-ku.
"Bilang sama ibumu, kalau dia masih kukuh untuk menyekolahkanmu ke sekolah swasta, ibu akan datang ke rumah,"
Siang itu Bu Rere mengatakan kalimat peringatan untuk Emak tepat di depan teman sekelasku. Memang hanya ditujukan untukku, tapi teman sekelas jelas mendengarnya. Belum berhenti sampai di sana karena aku berakhir disidang oleh guru IPS dan wali kelas. Aku dipanggil ke ruang guru. Pak Atta dan Bu Rini memberiku wejangan yang cukup lama hingga menghabiskan jam istirahat dan satu jam mata pelajaran setelahnya. Keduanya berada di pihak Bu Rere dan berakhir dengan aku yang akhirnya menceritakan hal tersebut pada Emak.
Emak yang sempat ragu akhirnya mengizinkanku secara penuh untuk melanjutkan ke sekolah negeri. Dengan alasan yang aku sendiri tidak pernah menduganya. Bahkan sampai saat ini aku masih tidak percaya bahwa hari itu semua guru mengucapkan selamat karena aku –murid dari kelas F, kelas yang sejak masih menjadi junior sudah membuat banyak masalah dengan guru– mendapat NEM tertinggi se-SMP. Aku memang juara kelas selama tiga tahun berturut-turut di SMP, tapi mendapat NEM tertinggi tidak pernah kuimpikan sebelumnya.
Suara ponsel berhasil membuyarkan lamunanku di atas tempat tidur. Ada pesan masuk. Dan ternyata ada panggilan tak terjawab juga.
"Rizki? Ada apa dia telepon malam-malam begini?" monologku.