Jemari lentiknya yang sedikit chubby meremas kuat tali tas disamping bahunya. Didetik-detik sesampainya ia menginjakan kaki di bandara, ia mendapat pesan jika Hamish akan menjemputnya nanti. Ya Hamish cinta pertamanya sedari kecil. Bagaimana bisa ? kenapa harus dia. Tentu saja Raisa senang, sampai membuatnya gugup dan hampir saja ia menabrak orang yang ada didepannya. Ia kembali focus, Kepalanya melirik keatas melihat petunjuk informasi untuk mengambil koper-kopernya yang ditaruh dibegasi pesawat.
Raisa menungu alat hitam yang berputar mengeluarkan barang-barang dari penumpang, sampai tiba koper polonya yang ia kenali diantara koper-koper penumpang yang lain. Koper yang terakhir. Ia menarik napas panjang, masih belum bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan. Hati kecilnya masih bimbang.
Langkah kakinya tertahan dua sampai tiga meter dari pintu exit kedatangan. Mulai gusar, ia mendongakan kepalanya mencari sosok yang membuatnya salah tingkah tak karuan. Tak lama terdengar pekikan pelan dari bibir Raisa.
Ah ! itu dia. Tidak salah lagi. Satu sosok yang menjulang tinggi diantara pengunjung lainnya. Dan yang paling membuatnya yakin ketika ia melihat kertas putih yang berukuran tak lebih dari 30x21 cm terangkat disebelah bahu kiri dari sosok itu, dimana terulis namanya yang didominasi dengan huruh kapital. RAISA !
Jantungnya berdetak tiga kali lebih kencang. Ya tentu saja Hamish tidak akan mengenalinya begitu saja karena mereka saling tidak bertemu selama 4 tahun. Raisa memaklumi jika Hamish harus menulis namanya dengan kertas itu. Langkahnya tertahan lagi ketika ia berpikir ulang.
Tidak , tidak ! Tidak Raisa !
Kau tidak mungkin muncul didepannya dengan keadaan seperti ini. Seberusaha apapun usahanya ketika ditoilet untuk mempercantik penampilannya, itu sia sia. Sekalipun ia memakai seulas lipstick berwarna merah jambu muda dibibir mungilnya yang ranum, tidak bisa menutupi mata bulatnya yang sayup kelelahan, dan pakaiannya lusuh akibat duduk yang terlalu lama.
Terlintas salah satu cara untuk menghindari Hamish saat itu. Ia tampak merogoh sesuatu didalam tas Louis Vuitton nya yang berukuran cukup besar. Tak lama ia mendapatkan benda yang dicarinya. Raisa menyeringai. Topi snapback dan kacamata hitam kini melekat pas dikepala dan wajahnya. Penyamaran yang sempurna.
Raisa menundukan kepalanya ketika ia melewati Hamish, berjalan dengan cepat dan terus bergumam didalam hatinya 'Maafkan aku Hamish'. Setelah ia rasa sudah cukup jauh darinya, Raisa bernapas lega. Ia bergegas mencari taksi untuk mengantarnya pulang segera, meninggalkan Hamish dengan raut wajah kesal, yang masih setia menungu Raisa yang tak kunjung keluar.
Mobil berwarna biru itu mulai memasuki halaman rumah Raisa yang tidak terlalu besar, beberapa pot bunga mawar merah kesayangan Ibunya masih tersusun dengan rapi. Gazebo kecil yang dibangun Ayahnya dulu disamping kiri gerbang rumah masih berdiri kokoh. Raisa tersenyum hangat melihat ayunan kayu masa kecilnya yang sudah mulai tua namun terlihat masih bisa menahan berat badannya yang sekarang. Ia melangkahkan kakinya keluar dari mobil, rasa rindu yang dulu tersimpan kini menyeruak keluar. Sambil bergumam didalam hatinya sendiri, Welcome Home.
"Oh Yaya ku sayang, akhirnya kau sampai juga." Nampak wanita paruh baya yang masih terlihat cantik menyambut kedatangan Raisa. Pelukan hangat yang erat saling melepaskan rindu. Putri sulungnya kini pulang kembali ke rumah. Tak lama wanita itu kemudian melepaskan pelukannya, kedua tangannya kini beralih menyentuh wajah Raisa. Kecupan hangat mengenai kening Raisa. Setitik air mata keluar diujung matanya. Oh Mama, Betapa aku merindukanmu..
"Dimana Nia dan Rina, ma?" perhatian Raisa kini beralih pada kedua adik perempuannya tersayang.
"Nia sedang menjemput Rina kursus bahasa mandarin, sebentar lagi pasti mereka akan sampai ke rumah." Janice menuntun Raisa untuk memasuki rumah, kemudian ia tersadar akan sesuatu."Dimana Hamish ? bukannya dia yang menjemputmu dibandara. Apa kau tidak membaca pesan dari mama?"
Hah !