TERLARANG

Kartini Susilo Fitri
Chapter #2

#1 Lepas Sangkar Emas

Seorang pemuda gagah berkelut dengan sofanya yang hangat, ia memangku laptop yang menjadi fokus utamanya, sesekali ia menyeruput kopi dari cangkir beling yang sengaja diletakan disebelah sofanya. Raut wajah yang tenang namun sangat serius semakin lama memudar berganti kegelisahan. Ia berdiri dan meletakan laptopnya di atas sofa lalu berjalan perlahan kearah balkon. Udara segar kembali meredakan rasa gelisah di wajahnya. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya, perlahan-lahan ia menghisap rokok ditangannya membuat garis ketegangan diwajahnya berangsur memudar. Sebuah ketukan pintu membuat udara segar yang ia rasakan menghilang.

“Masuk.” Katanya perlahan sambil sesekali menghembuskan asap rokoknya.

“maaf Tuan, ada telepon.” Pelayan itu mengulurkan handphone padanya. Ia mengambil handphone itu sembari memberi isyarat pada pelayan. “baik Tuan” pelayan tersebut melangkah mundur dan meninggalkan ruangan itu.

“Apa kabar?” suara dari ujung telpon memulai percakapan setelah tahu bahwa penerima telepon adalah orang yang dicari.

“baik” wajahnya datar dan sesekali menghisap rokoknya dengan pikiran menerawang.

“apa hari ini menyenangkan nak?” ia menghembuskan napas ketika mendengar pertanyaan ini.

“ada apa ayah?” ia mematikan rokoknya saat berbicara.

“tidak bolehkah seorang ayah merindukan putranya? Apalagi kamu sekarang berada sangat jauh dari ayah.” Ia mencoba mencari maksud apa yang dikatakan ayahnya.

“ini sudah beberapa kali dan ini tidak seperti biasanya.” Beberapa detik suara diujung telpon terdiam dan kembali menghembuskan napas.

“aku hanya ingin mengetahui kabarmu dan juga keadaan proyekmu disana.”

“biarkan aku mandiri ayah, kita sudah sepakati ini.” ia kembali mengambil bungkus rokok yang ditinggalkannya di samping cangkir kopi.

“bicara pada ayah jika kamu membutuhkan bantuan apapun. Ayah pasti membantumu.”

“kita sudah bicarakan soal ini juga.” Ia menyalakan korek dan menyulut rokok ditangannya.

“ayah tahu kamu ingin lepas dari ayah sejak tamat sekolah, tapi ayah akan amat senang jika ayah berada disampingmu terus dan orang pertama kamu cari ketika kamu butuh bantuan.”

“jangan anggap aku sebagai anak kecil lagi, kau tau itu kan ayah?” angin lembut menyibakan rambut hitam pekat bergelombangnya.

“iya ayah tahu, kamu sudah membuktikannya beberapa kali.” Suaranya kembali terdiam beberapa detik sebelum melanjutkan bicara. “ayah hanya takut kehilanganmu.” Senyum tipis keluar dari bibirnya ketika mendengar ucapan ayahnya.

“aku tidak akan hilang secepat yang kau pikirkan ayah.”

“jangan membuatku semakin khawatir.” Ia tertawa kecil saat mendengar ayahnya begitu cemas. “ayah harus pergi, nanti ayah akan telpon lagi.” Ia kembali ke sofa hangatnya dengan telpon yang telah terputus. Wajahnya kembali berubah serius ketika menatap laptop. Ia berdiri dan mengambil mantel tebal yang tersampir pada lengan sofanya bergegas meninggalkan ruangan.

           Ia turun dari mobilnya, berjalan dengan tergesa-gesa menuju gedung putih yang berada dihadapannya. Tampak banyak orang yang sibuk berlalu lalang di area gedung tersebut. Perlengkapan dekorasi terlihat sedikit berantakan dan beberapa orang memperbaikinya. Sebagian gedung sudah terlihat rapi dan siap untuk didatangi pengunjung namun sisi lainnya terlihat sangat berantakan. Ia berjalan menuju ruangannya yang berada diujung gedung tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang ramai.

“Tuan Regil.” Seseorang wanita berrambut hitam pendek dan tubuh yang mungil berlari kearahnya sembari mengulurkan dokumen yang dibawanya.

 “bagaimana ini bisa terjadi?” pemuda itu mengambil dokumen dan membacanya dengan kesal.

“saya dapat email dari Mr. Gerald pagi ini, dan didalam email tersebut ia menyebutkan…” bibirnya tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. “ia berencana memutuskan berhenti menjadi investor kita.” Regil menarik napasnya dengan dalam lalu perlahan memberikan kembali dokumen pada asistennya.

“Bianca, jadwalkan minggu ini untuk bertemu dengan Mr. Gerald bilang padanya saya punya penawaran yang menarik.”

 “I can help you.” Seorang wanita bertubuh semampai memiliki mata biru yang cerah rambut panjang bergelombang yang sengaja digerai, kulitnya bersih dan terawat berjalan dengan tenang menghampirinya.

“this is not your business.” Regil tak mengalihkan tatapannya pada dokumen yang dipegangnya.

“don’t be naïve, I just want to help you.” Ia menyilangkan kedua lengan didadanya dan memberikan kesan berwibawa.

“your help is not needed here.” Regil memandang wanita itu dengan tegas.

“we will see.” ia mengeluarkan pesonanya yang sengaja disembunyikan sejak tadi ketika memandang Regil. Wanita itu melangkah pergi meninggalkan senyum tipisnya pada Regil. Bianca terus memandangi wanita itu pergi hingga akhirnya menghilang dari pandangannya. Ya, tidak hanya laki – laki saja yang terpesona saat memandang Cherry, hal itu juga berlaku pada wanita hingga menimbulkan kesan iri. Wanita yang memiliki hidung mancung dan bibir tebal tadi mau dilihat dari sisi manapun terlihat seperti Barbie hidup. Aura kecantikan berada dari segi manapun saat ia bergerak. Setiap laki – laki pasti tertarik ketika memandangnya, tapi tidak pada Regil. Sikap Regil dengan jelas menunjukan penolakan terhadap Cherry. Regil bergeser dari tempatnya dan kini berada tepat dihadapan Bianca.

“kalau sudah selesai memandanginya, segeralah hubungi Mr. Gerald.” Bianca tersentak kaget dan merasa sedikit malu dengan perbuatannya.

“baik Tuan.” Nadanya yang pelan disertai anggukan gemetar mengiringi langkah Regil pergi dari gedung tersebut.

           Sudah hampir larut malam dan Regil masih terduduk sendiri di sebuah café, ia menaruh cangkir ketiganya yang telah kosong disamping laptopnya. Matanya masih tetap fokus pada layar didepannya dan tidak memperdulikan keadaan sekitarnya yang kini telah hampir kosong. Ia beberapa kali memejamkan matanya yang kini telah lelah menatap layar laptop, tapi ia tetap memaksakan matanya untuk tetap terbuka. Ia menyenderkan punggungnya yang kini sudah mulai tegang. Suara ponselnya ia tersentak, memaksa matanya yang lelah untuk melihat panggilan masuk.

“ada apa Bianca?” suara dari ujung telpon kini membuat dirinya sedikit tenang. “kirimkan saya alamatnya.” Ia menutup telponnya setelah mendapat jawaban dari ujung telpon.

           Pagi ini seperti biasanya, Regil selalu jogging di wilayah rumahnya. Ia memang selalu berolahraga di wilayah rumahnya tapi ia tidak begitu mengenali orang – orang yang tinggal disana. Baginya selama orang – orang itu tidak mengganggunya maka itu bukan menjadi urusannya. Ia duduk di sebuah bangku taman yang terlihat cukup sepi, ia meneguk air pada botol yang dipegang dan sesekali menyiramnya kearah wajah untuk membersihkan lelahnya. Ia melihat ponselnya yang bergetar dan membaca pesan yang masuk.

“jam berapa Bianca saya bisa bertemu dengannya?” ia menghubungi pengirim pesannya. “oke.” Ia kembali menutup telponnya dan menyimpannya di saku celana.

“oh no, I can’t reach it.” Regil menoleh kesamping kanannya dan mendapati seorang anak kecil bersusah payah mengambil balon yang tersangkut pada pohon. “ishh…” sesekali ia berlompat sembari memegang ranting yang panjang untuk dapat menggapai balonnya. Regil kembali melihat jam tangannya dan bergegas pergi.

“can I help you?” Ia menghampiri anak kecil tersebut dan berdiri tepat dibelakangnya. Anak itu melihat Regil dengan tatapan ragu dan takut. Tanpa menungu persetujuan anak itu dengan mudah Regil menggapai balon yang tersangkut dan memberikan padanya. Ia menerima dengan wajah senang namun malu. “where’s your mom?” ia menunjuk seorang wanita di arah belakang Regil, wanita yang sedang mendorong kereta bayi sembari kebingungan mencari seseorang. “you have to go there, don’t make your mom worry.” Anak kecil itu mengangguk lalu berlari menuju ibunya. Ketika ibunya melihat dirinya, ia sangat senang hingga memeluk anaknya lalu ia menggandeng anaknya dan pergi dari taman itu. Anak kecil itu tersenyum sembari melambaikan tangan ke arah Regil dan pergi dari taman itu.

           Sudah hampir siang Regil duduk di sebuah café bersama asistennya, Bianca. Mereka berencana bertemu dengan Mr. Gerald hari ini tapi tidak ada tanda - tanda bahwa pertemuan ini menghasilkan hasil yang bagus.

“kau tidak salah mendapat jadwal dari Mr. Gerald?” ia bertanya sembari meminum kopinya.

“tidak Tuan, saya membaca emailnya berkali – berkali sebelum memberitahukan anda mengenai jadwal ini.”

“kita sudah dua jam disini.” Regil mencium kegelisahan Bianca yang duduk disampingnya

“maaf Tuan.”

“sebaiknya kamu pulang, dia tidak mungkin datang hari ini.”

“tapi Tuan..”

“saya akan disini lebih lama.” Regil kembali menyeruput kopinya yang kini telah habis.”

Lihat selengkapnya