Regil tiba pada sebuah rumah besar bercat putih dan berpagar tinggi, rumah megah dengan dominasi warna putih dan hitam itu menjadikannya tampak begitu mewah. Terdapat beberapa pria yang menjaga disetiap sudut rumah itu ketika mobil Regil memasuki gerbang. Ia turun didepan pintu jati yang tinggi, para pelayan berbaris disamping kanan dan kiri pintu menyambut kedatangannya. Seseorang berdiri diantara para pelayan tersebut, sosok yang tidak lebih tinggi dari Regil, berkulit sawo matang dan berkepala yang hampir botak. Ia memeliki kumis dan jambang yang membuatnya terlihat sangat maskulin dari para penjaga dirumah ini.
“selamat datang Tuan muda.” ia sedikit membukkan dirinya didahadapan Regil.
“dimana ayah?”
“dia sedang istirahat dikamarnya.” Regil berjalan meninggalkan mereka dan bergegas menuju kamar ayahnya. Ia membuka pintu kamranya dengan perlahan, tampak ayahnya terbaring lemah di tempat tidur, Regil terfokus pada dada ayahnya yang diperban rapi. Secara perlahan ia menutup kembali pintu kamarnya dan melihat sesosok penjaga yang berdiri didepan tadi kini telah berdiri disampingnya.
“sebenarnya apa yang terjadi padanya, Gerry?” Regil duduk pada sofa yang berada didepan kamar.
“maafkan saya yang lalai Tuan muda.” Regil menghela napas dan mengisyaratkan Gerry untuk duduk dihadapannya.
***
Malam itu cukup hening dan penjagaan di rumah itu terlihat sangat ketat seperti biasanya, banyak penjaga berlalulalang dengan anjing penjaga berbagai jenis yang sengaja di piara oleh pemilik rumah. Tidak hanya para penjaga yang berlalulalang, mereka juga berdiam pada titik – titik post yang sudah diperintahkan. Laki – laki paruh baya berbadan cukup gemuk dan rambut bergelombang sedang meeting diruang kerjanya. Ia bersama Gerry pengawal pribadinya yang selalu waspada. Wajah Gerry tidak tenang dan selalu melirik keluar jendela saat Tuannya sibuk membicarakan urusan kantor. Wajahnya terlihat sangat stress ketika ia mematikan tv dan laptop menandakan meetingnya malam itu sudah selesai. Seorang pelayan perempuan datang memasuki ruangan memberikan teh hangat dan beberapa cemilan padanya.
“bawakan ke ruangan Regil.” pelayan itu mengagguk perlahan dan membawa nampannya keluar ruangan. “santailah sejenak, sudah sekitar seminggu ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“maafkan saya, karena belum menemukan peneror tersebut Tuan.” Wajahnya tertunduk dan terlihat sangat menyesal.
“dia yang seperti belut, begitu licin untuk dicari tahu. Dia bukan orang sembarangan Gerr.” Ia berdiri dan menuju ruangan lain dari rumah itu
“saya akan sesegera mungkin menemukan orangnya Tuan.” Mereka berhenti pada suatu ruangan dengan pintu besar seperti ruangan yang lainnya.
“aku hanya ingin bicara berdua saja dengan putraku.” Ia membuka pintu ruangan yang selalu digunakan Regil untuk bekerja dan menghabiskan waktu. “aku ingin menelponnya dan berada diruangannya membuat aku lebih dekat dengannya.”
“tapi Tuan.” Wajah Gerry sedikit khawatir karena tuannya tidak dalam pandangannya untuk melindunginya.
“kau berjaga disini saja, aku akan baik – baik saja.” Ia membuka pintu dan masuk keruangan Regil. Ruangan yang cukup luas jika digunakan sendiri, terdapat banyak foto terjajar didindingnya. Ukuran dan tema setiap foto itu berbeda – beda terlihat dari penjelasan yang tertulis pada setiap bingkai dibawah foto. Ia berjalan menelusuri foto – foto tersebut melewati beberapa lemari kaca yang terdapat piala, piagam dan beberapa lensa kamera yang ditinggalkan pemiliknya. Ia duduk dibalik meja jati besar yang membelakangi jendela, dari sudut itu tampak terlihat semua property ruangan. Ia membuka laci – laci lemarinya dan ada beberapa album foto yang tidak disimpan dari tempatnya. Album tersebut berisi foto – foto dirinya dan Regil, foto sejak Regil balita hingga lulus kuliah. Lembar demi lembar ia membuka dan membelainya lalu tersenyum kecil. Ia mengeluarkan ponsel dan bersiap menghubungi anak tercintanya.
Sudah hampir 20 menit didalam ruangan, Tuannya tidak bersuara. Hening tidak bergeming, Gerry khawatir pada Tuannya, ia berjalan bolak – balik di sekitar pintu karena tak tenang meninggalkan Tuannya sendiri. Sesekali tangannya menyentuh daun pintu bersiap untuk mengetuknya tapi diurungkan niatnya dan kembali berjaga – jaga didepan pintu. Sudah 10 menit berlalu sejak kekhawatiran pada Tuannya, tidak ada satu suarapun yang terdengar dari balik pintu. ia hafal sikap Tuannya jika sedang menelpon seseorang, suaranya selalu besar walaupun itu telpon penting yang ia terima. Ia tidak sabar menunggu hingga Tuannya keluar atau suaranya terdengar dari dalam. Sesaat sebelum ia membuka pintu, seorang pelayan datang membawakan nampan berisi serbet untuk Tuannya.
“mau apa?” Gerry menahannya untuk masuk keruangan.
“maaf Gerry, saya lupa membawakan ini untuk Tuan. Bolehkah saya masuk?” ia mengetuk pintu ruangan tersebut untuk mempersilakan pelayan itu masuk. Beberapa kali ia mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam ruangan.
“apakah Tuan tertidur sampai ia tidak bersuara?” pertanyaan pelayan itu membuat Gerry semakin cemas. Ia kembali mengetuk pintunya dengan lebih keras agar Tuannya dapat mendengar. “tidak biasanya Tuan tidur jam segini.” Pelayan itu menoleh pada jam dinding lonceng besar berada tepat didepan ruangan tersebut. Masih pukul setengah tujuh kurang.” jam itu berdetak membuat ekspresi pelayan bertanya – tanya pada Gerry. Gerry tidak perlu menunggu lagi jawaban Tuannya dari dalam. Ia membuka pintunya perlahan takut bahwa Tuannya benar – benar tertidur didalam. Mereka berdua begitu terkejut saat pintu sudah seluruhnya terbuka. Tuannya terlungkup dimeja, tampak cairan merah menembus dari belakang dadanya. Nampan yang dipegang pelayan itu terjatuh menyadarkannya dari rasa terkejut. Gerry telah berlari menghampiri Tuannya, menyelidiki cairan merah yang terdapat pada dada kiri belakang Tuannya, ia mengambil ponsel Tuannya dan tertulis nama anaknya disana.
“Post L keruang kerja Tuan Regil. Sekarang!!” Ia melihat keluar jendela dibalik kursi, jendela yang sudah terbolong kecil dengan rapi. Ia melihat kelantai bawah tapi suasana yang berada dihalaman belakang tersebut sangat normal seperti tidak terjadi apa – apa, para penjaga masih tetap berkeliaran menjaga. Pandangannya lurus kedepan melihat bukit dibelakang halaman rumah ini, tampak ada yang aneh disana karena sekelebat bayangan hitam tertangkap oleh penggelihatannya. Empat orang telah datang masuk dengan wajah terkejut melihat seseorang yang sangat dihormatinya terlungkup berdarah tidak sadarkan diri.
“bawa Tuan kerumah sakit, suruh dua orang dari post G ikut dengan kalian. Nanti aku akan menyusul” Gerry berbicara kepada semua orang diruangan tersebut. “kau ikut denganku.” Gerry menunjuk salah seorang dari keempat orang penjaga. Mereka berdua pergi kehalaman belakang. Saat tiba dihalaman belakang Gerry berhenti melihat keadaan sekitarnya. “kau ikut denganku.” Gerry menunjuk seorang penjaga yang memegang anjing berjenis Rottweiler. “sisanya menyebar keseluruh halaman belakang dan bukit belakang, infokan pada setiap pos untuk memperketat penjagaan.” Gerry berlari diikuti oleh dua orang yang ditunjuknya. Perintah yang telah didengar oleh semua penjaga dihalaman belakang langsung dipatuhi dan para penjaga dengan cekatan bergerak. Ia bersama dua orang suruhannya bergegas menuju bukit belakan rumah. Saat memasuki bukit tersebut udara menjadi lebih sejuk dan cahaya lampu mulai berkurang. Selain senter yang mereka bawa cahaya bulan membantu menerangi penelusuran mereka. Gelap, dan padat oleh tumbuh – tumbuhan ketika mereka lebih dalam menelusuri bukit tersebut. Kanan dan kiri mereka terlihat memiliki bentuk yang sama yaitu pohon dan semak belukar. Gerry berhenti melihat keadaan sekitar bukit, kakinya merasa menginjak sesuatu. Ia mengambil sebuah benda tabung kecil berwarna hitam. Ia sangat familiar dengan benda yang dipegangnya, wajahnya semakin kesal karena benda tersebut masih hangat. Anjing bertali yang dipegang oleh penjaga lainnya menggongong dengan keras, anjing itu siap dalam posisi menyerang. Ada sesosok mencurigakan yang ditangkap oleh penglihatannya, dengan sigap penjaga yang sejak tadi menahan si anjing melepaskan talinya. Mereka mengikuti pergerakan anjing yang terus berlari sembari menggongg. Kini mereka berdua melihat sesosok bayangan hitam yang dilihat Gerry. Sosok itu berlari dengan sangat lincah, sudah terlatih dan memahami dengan sangat jelas bukit ini. Larinya semakin melambat dan seketika ia melemparkan sebuah tabung besi berwarna hitam. Tabung itu sudah sedikit beraasap saat dilemparkan dan asapnya semakin banya ketika tepat jatuh diantara para penjaga. Mereka berhenti untuk menghindari asap itu tapi tidak pada Gerry, ia berlari semakin kencang sembari melindungi wajahnya dari bom gas air mata yang dilemparkan. Ia masih dapat melihat sesok bayangan tersebut tapi sangat jauh dan cukup sulit mengejarnya. Sosok itu mulai melambat ketika suara tembakan dari arah depan berbunyi, Gerry dapat melihat sedikit jelas walau sulit terjangkau. Salah seorang penjaga datang dari arah samping bukit melepaskan tembakan tersebut tepat mengenai kaki sosok itu. Kini mereka berdua berlari semakin kencang untuk mengejar sosok itu.
“kita harus menangkapnya sebelum ia sampai kejalan raya.” Sebelum Gerry mendapat jawaban dari anak buahnya sosok itu sudah keluar dari bukit menuju jalan raya. “SHIT!!!” Gerry berhenti di tepi jalan ketika kehilangan sosok tersebut, lenyap tanpa bekas dibalik mobil – mobil yang berseliweran ramai. “kalian sisir daerah sini dan juga bukit. Temukan sesuatu yang mencurigakan.” Ia berbicara dengan kesal saat para penjaga yang lain baru sampai.
Selama diperjalanan menuju rumah sakit Gerry mencoba terus menghubungi Tuan mudanya, Wajah Gerry terlihat sangat bingung karena Tuan mudanya kini tidak mengangkat telponnya. Gerry sampai pada lorong rumah sakit. Ia bertemu dengan dua penjaga dan seorang pelayan yang mengantarkan Tuannya. Dokter keluar dari ruangan dengan wajah yang serius menandakan bahwa keadaan Tuannya tidak baik – baik saja.
“bagaimana dok?”
“maaf Gerry, bapak Hendra harus segera dioperasi untuk mengeluarkan pelurunya.” Wajah Gerry terlihat kesal dan khawatir dengan tuannya.
“laksanakan dok.” Dokter itu kembali memasuki ruangan dan Gerry berjalan menjauhi lorong rumah sakit untuk menghubungi Regil. Gerry menceritakan semua yang terjadi pada ayahnya ketika berhasil sambungan telponnya terangkat.
“Gerry..” suara rintih Tuannya memanggil Gerry yang berdiri didekat pintu kamar rumah sakit. Sudah tepat 12 jam sehabis Tuannya dioperasi, ia membuka matanya pertama kali dengan lemah.
“ada apa Tuan?” Gerry mendekati ranjang tuannya untuk dapat mendengarkan suaranya dengan jelas.
“usahakan siang ini saya pulang.” Wajah Gerry terlihat khawatir melihat Tuannya.
“bukankah sebaiknya anda mendapatkan perawatan disini?” ia menunduk ketika berbicara pada Tuannya.
“kau ingin membunuhku dengan bau rumah sakit ini?!” Gerry terdiam terlihat sangat khawatir melihat Tuannya yang keras kepala. “aku tidak suka bau rumah sakit.”
“baik Tuan.” Gerry melangkah pergi menuju pintu kamar.
“jangan beri tahu putraku.” Wajahnya menatap jendela yang dipenuhi sinar matahari itu. Gerry terdiam tanpa menatap Tuannya dan melangkah meninggalkan ruangan.
Regil membuka pintu sebuah ruangan yang tidak asing baginya. Semuanya masih sama seperti setahun yang lalu saat terkahir ia meninggalkan rumah ini. Semuanya telah bersih, bercak darah yang berada di meja dan dipunggung kursi kini tidak lagi tampak. Bekas lubang kecil pada kaca jendela kini telah tidak ada karena semuanya telah diganti dengan yang baru. Ia berdiri didepan jendela menghadap kearah bukit dibelakang rumah. Gerry berdiri diseberang meja sembari memandangi Tuan mudanya dengan wajah menggoreskan penyesalan dan rasa bersalah. Ia mengambil benda dari kantongnya, sebuah benda yang ia temukan di bukit belakang rumah. Sebuah peredam untuk senjata sniper yang dibungkus plastik clip, beberapa foto dari lubang pada jendela dan jejak kaki pun diletakan diatas meja. Ia duduk dan melihat beberapa benda yang di taruh Gerry di meja. Ia melihatnya secara meneliti dan meletaknya kembali.
“sudah berapa kali ini terjadi?” Gerry terdiam, tampak keraguan diwajahnya sebelum ia menjawab. “apa ada yang lebih buruk terjadi sebelum ini?”
“baru ini yang terburuk.” Regil memegang kepalanya sembari tersenyum kecil.