Terminal Lama

Topan We
Chapter #1

Permulaan

Hari itu, Terminal lama diselimuti kabut tipis. Bukan kabut alam seperti di gunung, tapi kabut buatan manusia—uap solar dari bus-bus tua yang baru dinyalakan, asap rokok sopir, dan sisa bakaran sampah dari warung-warung kecil di tepi jalan. Udara terasa berat, lembab, dan sedikit asin, seolah debu dari masa lalu masih enggan hilang di udara kota Lebak, Banten itu.

Terminal lama yang berada di kawasan Rangkas Bitung, merupakan terminal penumpang tipe A. Dilayani oleh kendaraan bus ternama seperti Primajasa, rute Rangkasbitung - Jakarta (Tanjung Priok) dengan jadwal keberangkatan biasanya dimulai pukul 04.45 pagi dan berakhir pukul 17.30 sore. Selain rute kota, dengan menggunakan jasa Primajasa, ada juga pelayanan bus mikro yang disebut PS oleh warga Lebak, yang merupakan alat transportasi antarkota satu-satunya yang sering digunakan warga untuk berpergian menuju daerah sekitar kawasan kabupaten Lebak seperti Kopi, Cileles-Sajir, Gunung Kencana, Malingping, Bayah dan Cikotok, yang mempunyai kontur jalanan pegunungan yang sempit dan berliku.

Dari kejauhan, terdengar suara toa masjid yang sudah tua, disambut kokok ayam dan seruan kasar sopir angkot yang berebut penumpang pagi pertama. Warna langit belum sepenuhnya terang, tapi di Terminal Lama kehidupan sudah dimulai sejak pukul empat. Para pedagang kaki lima mulai menata dagangan, memajang gorengan di nampan plastik, menyusun botol air mineral, dan menuang kopi hitam dari termos besar yang catnya sudah mengelupas.

Di belakang kios agen bus mikro "PS,” berdiri sebuah rumah kos. Bangunannya kusam, dindingnya bercat hijau muda yang pudar seperti daun yang kehilangan klorofil. Atapnya bocor di beberapa bagian, membuat embun pagi sering menetes ke lantai ubin yang retak. Di sana, kamar nomor dua dihuni seorang pria bernama Edi Permana—usia 29 tahun, postur sedang, rambut hitam selalu rapi, dan wajah yang jarang menampilkan ekspresi.

Kamarnya berukuran dua kali tiga meter, cukup untuk satu ranjang kecil, sebuah meja lipat, dan rak kayu yang dibuat seadanya. Bau solar dari terminal kadang merayap masuk lewat jendela kecil yang kacanya sudah buram. Tapi Edi tak terganggu. Ia justru menyukai bau itu. Baginya, aroma solar adalah tanda kehidupan. Setiap kali mencium baunya, Edi tahu dunia masih berputar, dan manusia masih sibuk mengejar sesuatu yang fana.

Pukul lima kurang sepuluh, alarm ponselnya berbunyi. Ia bangun tanpa ragu, tanpa menguap, tanpa keluhan. Setiap gerak tubuhnya teratur seperti mesin. Setelah mencuci muka dan mandi dengan air sumur yang dingin menusuk tulang, ia mengenakan seragam abu-abu showroom tempatnya bekerja. Seragam itu selalu bersih, disetrika dengan lipatan tepat di bahu. Ia tak pernah lupa menyemprotkan sedikit minyak rambut murah, lalu berdiri di depan cermin kecil yang digantung dengan paku di dinding.

Cermin itu sedikit retak di bagian sudut kiri, tapi Edi selalu menatapnya dengan saksama. Pandangannya dalam, menelusuri setiap garis di wajahnya sendiri. Kadang, matanya seperti mencari sesuatu yang tak ada. Sering, ia menatap lebih lama dari yang seharusnya, seolah ingin memastikan bahwa sosok di cermin itu benar-benar dirinya. Lalu, tanpa ekspresi, ia mengangguk pelan, sebuah kebiasaan yang bahkan ia sendiri tak sadari.

Di depan, Bu Narti, pemilik kos, sedang menyapu halaman kecil yang diapit dua motor tua. Perempuan itu masih berusia sekitar 43 tahun, tubuhnya kencang dan terlihat kuat, dan selalu mengenakan daster bunga-bunga. Ketika Edi turun membawa tas kecilnya, Bu Narti menoleh.

"Gawe deui, Ed?" - "Kerja lagi, Ed?"

"Muhun, Bu. Biasa, jam geuneup kudu tos di showroom." - "Iya, Bu. Biasa, jam enam udah harus di showroom."

Lihat selengkapnya