Siang itu, matahari menggantung tepat di atas genting pasar lama, menimpa deretan toko dengan panas yang menyengat seperti napas orang demam. Udara menguar bersama bau oli, debu, dan gorengan yang mulai tengik. Suara klakson bersahutan dengan teriakan pedagang kaki lima yang menawari nasi uduk, tahu sumedang, dan es cincau di pinggir jalan.
Dari terminal lama ke showroom tempat Edi bekerja, jaraknya tak lebih dari dua kilometer. Ia biasa berjalan kaki. Di sepanjang jalan, ia mengamati kehidupan dengan mata yang dingin, anak-anak sekolah berlari sambil tertawa, ibu-ibu menjemur pakaian, perdebatan sopir yang berebut penumpang di terminal. Semua itu seperti teater tanpa naskah yang berulang setiap hari. Tapi di kepala Edi, semuanya terasa rapi, teratur, dan mudah ditebak. Tak ada kejutan di dunia yang bisa membuatnya benar-benar terkejut lagi.
Showroom Abadi Jaya Rangkas terletak di pinggir jalan besar. Bangunannya dua lantai, kaca depannya mengkilap, menampilkan mobil-mobil baru dari berbagai merek. Di bagian belakang, ada area servis dan gudang cuci mobil. Di situlah Edi bekerja, bersama dua orang lainnya, Pian dan Sumar, yang bertugas mencuci dan mengelap kendaraan sebelum dikirim ke pelanggan.
Pian, yang baru bekerja tiga bulan, sering heran pada Edi.
Pria itu jarang bicara, tapi selalu datang paling awal dan pulang paling akhir. Setiap mobil yang ia cuci berkilau seperti baru keluar pabrik. Ia tak pernah mengeluh, tak pernah terlihat lelah, bahkan jarang berhenti minum.
"Istirahat heula, Ed!" - "Istirahat dulu, Ed!" kata Sumar suatu siang sambil menyeka keringat.
"Can beres," - "Belum beres," jawab Edi singkat, tetap menunduk mengelap kap mobil.
Nada suaranya datar, tapi bukan dingin. Lebih seperti seseorang yang sedang berbicara kepada dirinya sendiri.
Sumar hanya mengangguk. Ia tahu percuma bicara banyak pada Edi.
Dari kejauhan, supervisor mereka, Pak Ade, memandangi Edi dengan tatapan puas. Dalam pikirannya, pekerja seperti itu adalah aset: disiplin, tak cerewet, dan tak banyak menuntut. Ia tak tahu, di balik kesunyian Edi tersimpan sesuatu yang lain, sebuah ruang kosong yang tak pernah bisa diisi oleh hal-hal biasa.