Terminal Lama

Topan We
Chapter #3

Ibu Kost

Kost di belakang kios agen bus mikro“PS” tampak redup malam itu. Lampu neon di lorong hanya tinggal satu yang masih menyala, sisanya berkelap-kelip seperti lilin kehabisan minyak. Bau solar dan karat dari bengkel sebelah masih terasa menempel di udara.

Kamar Edi, nomor dua, berada di sebelah barat, menghadap langsung ke arah terminal lama. Dari jendelanya, ia bisa melihat bus-bus yang parkir berderet seperti bangkai besi tua. Kadang sopir tidur di jok depan, kadang ada tawa perempuan malam terdengar samar dari balik bayangan kendaraan.

Edi duduk di tepi ranjang sempitnya, mengamati langit-langit kamar yang penuh bercak lembap. Di meja kecil, ada termos air panas, gelas aluminium, dan sepotong roti yang belum disentuh. Radio tua memutar lagu lawas Ebit G.Ade dengan suara khasnya.

Ia menatap jarum jam yang bergerak pelan—menunggu sesuatu, atau mungkin hanya mengisi waktu yang tidak tahu mau ke mana dan mau apa.

Di luar, terdengar langkah kaki pelan yang sedikit berirama. Langkah itu berhenti tepat di depan kamarnya. Lalu terdengar suara lembut mengetuk pintu.

Tok… tok… tok.

"Ed, tos eumam can?" - “Ed, udah makan belum?”

Suara itu milik Bu Narti, pemilik kost. Perempuan yang selalu duduk setiap sore di halaman depan rumahnya sambil menyalakan beberapa batang rokok. Rambutnya selalu disanggul seadanya, dan matanya punya cara menatap yang tulus tapi lelah.

"Tacan, Bu. Tapi ieu keur eumam roti," - “Belum, Bu. Tapi ini lagi makan roti,” jawab Edi dari dalam.

"Abdi masak sayur asem, Mun hoyong dicandakeun." - “Saya masak sayur asem, kalau mau saya ambilin.”

"Tong repot-repot, Bu. Eungkin abdi nu nyandak." - “Jangan repot-repot, Bu. Nanti saya yang ambil.”

Beberapa menit kemudian, Edi membuka pintu dan mengikuti langkah Bu Narti. Dapur kecil di tempat persinggahan ibu kost penuh aroma sayur asem dan sambal terasi. Di sana, Bu Narti duduk di kursi plastik, menatap panci di depannya sambil menyalakan rokok.

"Wios calik didieu, Bu?" - “Boleh duduk sini, Bu?” tanya Edi.

"Muhun, calik wae. Tos Lila teu Aya nu maturan eumam doang kieu," - “Iya, duduk aja. Udah lama enggak ada yang nemenin makan malam begini,” katanya pelan, sedikit tersenyum.

Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat. Suara jangkrik dari luar bercampur dengan desis minyak di wajan.

"Si bapak teu uih deui, Bu?" - “Si bapak enggak pulang lagi, bu?” tanya Edi akhirnya.

"Muhun. Salaki ibu mah tos lila teu uih." - “Iya. Suami saya udah lama enggak pulang.”

"Dambeul?" - “Kerja?”

"Duka. Ceuk eunyana dambeul di proyek luar kota. Kadang uihna tilu bulan sakali, eta geh ngeun ukur marah-marah teu jelas. Marah tanpa sebab." - “Entahlah. Katanya kerja di proyek luar kota. Kadang dia pulang tiga bulan sekali, itu pun cuma buat marah-marah tidak jelas. Marah tanpa sebab.”

Edi menatap wajah perempuan itu dengan tenang, tanpa ekspresi. Ia menaruh sendok, menyandarkan tubuh ke kursi.

"Berarti ibu awewe kuat, nyah." - “Berarti Ibu perempuan kuat, ya.”

"Kuat kumaha?" - “Kuat gimana?”

"Nyalira. Masih tiasa senyum. Masih tiasa ngurus rompok, ngurus anak kost, jeung padambeulan nu lain." - “Sendirian. Masih bisa senyum, masih bisa urus rumah, ngurusin anak kost juga, dan kerjaan lain-lain.”

Bu Narti tertawa pelan, tapi tawa itu tak punya bunyi gembira.

"Mun teu kuat, rek kumaha deui. Hirup kan kudu teuteup jalan." - “Kalau enggak kuat, mau gimana lagi. Hidup kan harus tetap jalan.”

Ada jeda panjang. Hanya suara kipas angin berdecit di sudut dapur.

Edi menatap meja, jari-jarinya mengetuk-ngetuk pelan.

"Abdi geh ti alit keneh tos nyalira, Bu," - “Saya juga dari kecil sendirian, Bu,” ucapnya perlahan.

"Kolot abdi sibuk. Emak abdi jarang di rompok. Bapak abdi keras. Kadang abdi mikir ...mungkin karena ieu abdi sulit ngerti batur." - “Orang tua saya sibuk. Ibu saya jarang di rumah, Bapak saya keras. Kadang saya mikir… mungkin karena itu saya susah ngerti orang.”

Lihat selengkapnya