Terminal Lama

Topan We
Chapter #5

Bayah, 20 Tahun Lalu

Di sebuah kawasan pantai yang terkenal karena keindahannya, di Bayah, berdirilah rumah dengan cat putih pucat yang mengelupas di beberapa bagian. Di terasnya, ada kursi rotan yang kakinya patah satu, disangga bata merah. Dari luar rumah itu tampak seperti rumah biasa, tapi bagi Edi Permana, rumah itu lebih mirip ruang tunggu, tempat orang menunggu tanpa tahu kapan akan dijemput atau ke mana akan pergi.

Sejak kecil, Edi terbiasa dengan suara keras. Kadang suara bentrokan antara sepasang suami istri. Kadang suara tawa tamu-tamu perempuan yang datang ke ruang depan, hanya sekedar menunggu giliran dirias oleh ibunya. Tapi lebih sering, suara yang ia dengar adalah bentakan. Bentakan ayahnya yang menuduh ibunya lupa pada rumah, lupa pada anak. Bentakan ibunya yang menuduh ayahnya tak pernah pulang, tak pernah peduli.

Ketika Edi berumur sembilan tahun, rumah itu seperti meledak dalam diam. Malam itu, hujan turun deras. Ia masih ingat betul, ibunya berdiri di depan pintu dengan rambut acak-acakan, sementara ayahnya berjalan menjauh dengan tas kecil yang ia tenteng. Tak ada kata perpisahan. Tak ada pelukan. Hanya bunyi pintu digedor angin.

Sejak malam itu, Edi tak pernah lagi mendengar suara khas sang ayah yang memanggil namanya.

Yang tersisa hanya ruang kosong, dan ibu yang makin sibuk bekerja.

Orang-orang di kampung mulai berbisik. Tentang seorang perias cantik yang katanya dinikahi siri oleh pengusaha busana dari Serang. Tentang ayah yang kabarnya menetap di Pelabuhan Tanjung Priok dan punya keluarga baru. Tentang anak laki-lakinya yang selalu duduk sendirian di halaman sekolah sambil membaca buku.

Edi tidak mengerti semua gosip itu. Tapi ia mengerti satu hal: bahwa kadang orang dewasa tidak bisa dipercaya. Mereka bisa tersenyum di depan orang banyak, tapi diam-diam saling melukai di dalam rumah.

Ia mulai sering berdiam diri di kamarnya.

Kamar kecil di sudut rumah, dindingnya menguning karena lembap. Di meja belajarnya yang reyot, tersusun rapi buku-buku yang ia beli dari toko loak. Buku IPA, cerita rakyat, bahkan majalah bekas. Ia membaca semua dengan teliti, seolah mencari sesuatu yang bisa menjelaskan kenapa dunia bisa sekejam itu terhadap anak kecil.

Lihat selengkapnya