Sekolah menengah pertama tidak membuat Edi lebih bahagia.
Di sana, dunia terasa lebih kejam, tapi dalam bentuk yang halus dan konsisten yaitu sebuah, ejekan.
Tubuhnya yang kurus, wajahnya pucat, dan cara bicaranya yang tenang membuatnya jadi bahan lelucon.
“Jangan dekat-dekat si Edi, nanti jadi vampir,”
kata salah satu teman sekelasnya, disambut tawa bersama.
Edi hanya diam. Ia tahu melawan tidak ada gunanya. Di sekolah, yang keras selalu menang, dan yang diam selalu dianggap pecundang.
Guru-guru menyukainya karena ia selalu mendapat nilai tertinggi. Dari semenjak ia duduk di kelas 7 sampai 9, ia selalu mendapatkan ranking pertama. Tapi justru itu yang membuatnya makin terasing. Teman-temannya menyebutnya sok pintar, penjilat guru, atau “anak mamah.” Padahal, ibunya jarang sekali datang ke sekolah. Justru hampir kebanyakan temannya yang selalu di manja oleh orang tua mereka.
Di jam istirahat, Edi lebih sering duduk di pojok depan perpustakaan, di bawah pohon mangga. Ia membawa bekal nasi dingin dan telur dadar yang dimasaknya sendiri. Ia makan perlahan, sambil membaca buku sejarah yang diselipkan di bawah tasnya.
Suatu hari, seorang guru IPS, Bu Reni, menghampirinya.
"Teu ameung jeung rerencangan maneh, Ed?" - “Enggak main sama teman-temanmu, Ed?”
"Barudak maen bola, Bu." - “Mereka main bola, Bu.”