Terminal Lama

Topan We
Chapter #7

Persami

"Kakak pembina sudah keliling," kata salah satu anggota Pramuka dari sekolah lain. Mereka segera berkumpul dan melakukan senam pagi. Beberapa kakak pembina mulai memberi instruksi kepada seluruh anggotanya. Pagi itu, kabut masih menggantung di lereng kecil tempat perkemahan sekolah berlangsung. Rumput basah, dan aroma tanah bercampur asap kayu bakar membuat udara terasa lembap dan asing. Puluhan tenda berjejer tidak rapi di lapangan terbuka, diapit oleh pepohonan jati yang menjulang.

Bagi sebagian besar murid, PERSAMI ini adalah acara yang menyenangkan: kesempatan untuk keluar dari rutinitas kelas, bercanda dengan teman, dan diam-diam mendekati orang yang disukai. Tapi bagi Edi, ini adalah situasi yang melelahkan.

Ia tidak suka kebisingan. Tidak suka terlalu lama bersama orang banyak. Tapi karena ia siswa teladan dan anggota Pramuka pilihan, ia tak bisa menolak ikut.

Edi duduk di depan tenda, mengenakan seragam olahraga lengkap, baru saja selesai mengikuti senam, menatap batang kayu yang terbakar setengah di depan tungku. Jemarinya sibuk mengupas ranting kecil, seolah mengalihkan perhatian dari kerumunan siswa yang tertawa di kejauhan.

Lalu seseorang datang dengan langkah hati-hati.

“Edi,” suara itu lembut.

Ia menoleh. Ami berdiri di sana, rambutnya diikat lurus, seragam Pramukanya sedikit berantakan, tapi wajahnya memancarkan sesuatu yang jujur. Ia membawa sebuah wadah plastik besar berisi nasi, lauk, dan pisang goreng yang baru matang.

"Ami candakeun eumameun di dapur umum. Ceunah kamu can eumam," - “Aku ambilin makanan di dapur umum. Katanya kamu belum makan,” katanya sambil tersenyum malu.

Edi menatapnya beberapa detik sebelum menjawab.

“Terima kasih.”

Senyumnya tipis, nyaris tak terbaca. Tapi bagi Ami, itu sudah cukup untuk membuat dadanya hangat.

Mereka sudah 4 bulan berpacaran, meski tidak ada kata resmi diucapkan. Hubungan itu terbentuk perlahan, berawal dari tugas kelompok, berlanjut dengan obrolan ringan sepulang sekolah, lalu tiba-tiba mereka menjadi dua orang yang paling sering duduk berdampingan di kelas.

Bagi Ami, Edi berbeda dari laki-laki lain. Ia tidak banyak bicara, tapi selalu mendengarkan dengan penuh perhatian. Tatapannya tajam tapi tidak menakutkan, setidaknya, dulu tidak.

Namun, sejak beberapa hari terakhir, Ami merasa Edi semakin sulit ditebak. Kadang bisa begitu hangat, tapi di lain waktu, matanya seperti menatap tembus, dingin, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Mereka duduk di bawah pohon besar, agak jauh dari kerumunan. Hanya suara jangkrik dan desiran angin menemani.

Ami membuka wadah makanan.

"Ami mawa ieu dua porsi. Ami yakin maneh pasti can sempet emam." - “Aku bawa ini dua porsi. Aku yakin kamu pasti belum sempat makan.”

“Kamu selalu perhatian, terima kasih,” jawab Edi datar.

"Ami ngeun...khawatir bae. Maneh katingalina keur bosen." - “Aku cuma… khawatir aja. Kamu kelihatan bosan.”

"Teu bosen." - “Aku enggak bosan.”

Hening sejenak.

Ami melirik wajah Edi, lalu memberanikan diri bertanya:

"Kamu geus hade can jeung emak kamu?" - “Kamu udah baikan sama ibumu?”

Pertanyaan itu membuat suasana langsung berubah.

Edi menatap Ami lama sekali, tatapan yang dalam, tanpa kedipan, seperti seseorang yang menimbang apakah ia sedang diserang atau dipedulikan.

" Kunaon maneh nanya eta?" - “Kenapa kamu nanya itu?”

"Teu nanaon. Ngeun hayang terang bae...maneh kan sempet cerita, ceuk kamu sempet pasea jeng emak kamu." - “Enggak apa-apa. Aku cuma pengen tahu aja… kamu kan sempat cerita, katanya kamu sempat bertengkar sama Ibu kamu.”

"Eta mah lain urusan sasaha." - “Itu bukan urusan siapa-siapa.”

Lihat selengkapnya