Malam itu, di sebuah kawasan pantai selatan, hujan turun begitu deras, namun sebentar, hanya ingin membasahi tanah Bayah yang telah lama tidak diguyur hujan. Air mengalir dari genteng seng rumah tua milik Sulastri, menetes perlahan di ember plastik yang sudah penuh setengahnya. Di dalam rumah, aroma bedak bercampur minyak rambut menyeruak di antara bau pakaian yang dijemur tak kering.
Edi duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang berdetak lambat. Suara detiknya terasa menembus ubun-ubun, seperti menandai waktu yang tidak bergerak.
Sebentar lagi ujian akhir. Sebentar lagi kelulusan. Namun di kepala Edi, yang bergema hanyalah angka-angka biaya, formulir, seragam, dan uang bulanan yang belum dibayar.
Sulastri muncul dari kamar belakang dengan wajah yang penuh riasan. Bedaknya tebal, sedikit retak di bawah cahaya lampu lima watt yang menggantung miring di langit-langit. Bibirnya merah menyala. Baju daster krem yang ia kenakan sedikit terbuka di bagian dada, dan gelang-gelangnya berbunyi setiap kali ia bergerak.
Namun matanya menatap lembut pada Edi, seperti seorang ibu yang ingin terus menjaga kasih sayangnya.
"Geus emam can?" - “Kamu udah makan?” tanyanya sambil duduk di kursi sebelah.
Edi menggeleng pelan.
Ia menunduk, menatap kuku-kukunya yang kotor.
"Mak, sakola menta duit tambahan jeung kelulusan. Ceunah kangge acara perpisahan jeung foto." - “Mak, sekolah minta uang tambahan buat kelulusan. Katanya untuk acara perpisahan sama foto.”
Sulastri menghela napas panjang, lalu menepuk pahanya sendiri.
"Heuh, emak apal. Maneh tenang bae. Emak aya rezeki Minggu ieu, loba panggilan ngarias panganten. Alhamdulillah. " - “Iya, Emak tahu. Kamu tenang aja. Emak ada rezeki minggu ini, banyak panggilan buat rias pengantin. Alhamdulillah.”
Ia tersenyum, tapi di balik senyum itu ada sesuatu yang rapuh, seperti lapisan tipis kaca di atas tanah berlumpur.
Edi hanya mengangguk.
Dalam hati kecilnya, ada rasa hangat yang samar, perasaan bahwa ibunya masih berjuang untuknya, walaupun sering ia benci tanpa tahu sebab.
Sulastri berdiri, berjalan ke lemari kecil di ruang tengah, membuka sebuah dompet besar berwarna merah muda yang tampak sudah usang. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dan memberikannya pada Edi.
"Yeuh. Jeung bayar bulanan nu terakhir can dibayar bae heula. Mun kurang ngomong bae. Tapi maneh ulah teuing mikiran biaya. Eta mah tugas emak nu bagian neangan." - “Nih. Buat bayar bulanan yang terakhir belum dibayar aja dulu. Kalau kurang nanti bilang aja. Tapi kamu jangan terlalu mikirin biaya. Itu bagian tugas Emak yang nyari."
Edi menerima uang itu perlahan. Kertasnya lembab dan beraroma parfum khas yang biasa dipakai ibunya.
Ia menatap uang itu lama, lalu menaruhnya di meja.
“Mak…”
"Naon?" - “Apa?”
"Mun bapak balik, emak neuk Nerima deui moal?" - “Kalo Bapak balik, Emak mau nerima lagi?”
Pertanyaan itu membuat Sulastri diam.
Suara hujan di luar kembali terdengar deras. Sulastri menatap jendela, tidak langsung menjawab. Tangannya menggenggam dompet kesayangannya, lalu ia tersenyum kecil.
"Bapak maneh geus jeng pilihan na nu anyar, Ed. Emak geh geus mohokeun. Jeung walaupun Kitu, dia mah tetep bapak maneh, tapi lain salaki emak deui." - “Bapakmu udah bahagia sama pilihannya yang baru, Ed. Emak udah ngelupain semuanya. Dan walaupun begitu, dia adalah tetap bapakmu, tapi bukan suami emak lagi.”
Edi hanya mendengus pelan. Ia menatap wajah ibunya yang bercahaya oleh lampu kuning itu, tampak lebih tua dari usianya. Ia tak tahu kenapa, tapi dalam benaknya tiba-tiba muncul rasa getir.
Ia benci suara lembut itu. Ia benci wajah yang berusaha tampak tenang, padahal menyembunyikan seribu luka.
Namun, di saat yang sama, ada juga rasa iba yang menyelinap seperti embun.