Pagi itu, Edi, Pian, dan Sumar sedang mengelap mobil Avanza putih keluaran terbaru yang baru selesai dilap, unit yang akan dipajang di bagian tengah showroom seperti sebuah permata. Bos mereka, Pak Hendra, menyuruh mereka memastikan mobil ini tampak sempurna karena akan ada calon pembeli yang datang.
Edi bekerja seperti biasa: fokus, telaten, tanpa banyak bicara. Gerakannya terukur, seperti seseorang yang tahu persis bahwa kesalahan kecil akan mencoreng sesuatu yang tidak terlihat.
Namun ketenangan itu retak ketika pintu kaca showroom berderit terbuka.
Masuklah seorang pria berpenampilan mencolok. Bukan dari pakaian mahal, tapi dari caranya membawa dirinya sendiri: penuh percaya diri, penuh kesadaran bahwa ia sedang diperhatikan. Pria itu menenteng kamera dan ring light kecil versi portable. Ia menyalakan kamera sejak dari luar pintu, mengucapkan salam kepada para penonton live-nya, yang bagi dirinya telah menjadi dunia kedua.
"Assalamualaikum guys!" Pos ieu urang ker aya di Abadi Jaya Rangkas, salah sahiji showroom paling rame di kota Lebak. Nih, aing rek ngabantu babaturan survei mobil anyar...." - “Assalamualaikum, guys! Hari ini kita lagi ada di Abadi Jaya Rangkas, salah satu showroom paling rame di kota Lebak. Nih, saya mau bantu temen buat survei mobil baru…” katanya sambil menggerakkan kamera ke sekeliling.
Itulah pertama kalinya Edi melihat Angga Pratama.
Angga tampak ceria pagi itu. Kaos oversized warna hitam, topi dibalikkan ke belakang, dan motor matic mahal yang ia parkir sembarangan di depan pintu sudah cukup menunjukkan bahwa ia terbiasa hadir sebagai pusat perhatian. Edi memperhatikan dari kejauhan, sembari tetap mengelap kap mobil. Gerakannya seperti terhenti sesaat setiap kali Angga bicara keras.
"Kang, mobil nu ieu bisa dicek jerona teu? Babaturan hayang ningali interior na heula." - “Kang, mobil yang ini bisa dicek dalemnya? Temen saya mau liat interiornya dulu,” kata Angga pada seorang sales bernama Ade, bagian sales dan senior Edi di tempat kerja.
"Oh, eunya, Kang Angga. Mangga. Ku abdi di bukakeun heula," - “Oh, iya, Kang Angga. Silakan. Biar saya bukain dulu,” jawab Pak Ade, ramah tapi sedikit canggung.
Pak Ade cukup mengenal Angga karena beberapa kali showroom bekerja sama dengannya untuk pembuatan konten promosi. Namun bagi Edi, Angga hanyalah orang asing yang kebetulan lewat. Meski begitu, ada getaran samar yang muncul setiap kali ia melihat cara Angga berbicara, penuh percaya diri, sedikit menggurui, dan seakan-akan tempat ini bisa ramai karena kontennya.
Di layar kamera, Angga menampilkan kepribadian yang ramah, lucu, dan informatif. Namun di luar kamera, ia tampak cepat bosan, sering mendesah, sering merapikan rambutnya sendiri meski tidak perlu. Edi melihatnya dari sudut mata. Bukan benci. Hanya sekilas observasi.
Teman Angga, seorang pria gemuk berkaos biru pendek, hampir sebagian lengannya penuh tato, tampak gugup, ikut masuk ke dalam showroom. Dialah calon pembeli mobil itu. Angga berusaha menenangkan temannya, seolah ia adalah seorang ahli otomotif padahal ia sendiri sering salah menyebut istilah.
“Harga segini mah murah, Lur. Cicilannya ringan banget, sumpah. Lebih enak sih cash ya, tapi terserah. Tinggal pilih warna yang cocok sama aura kamu,” ucap Angga sambil terus merekam.
Temannya mengangguk-angguk, meski jelas tidak mengerti apa maksud "aura" yang dimaksud Angga.
Edi terus memperhatikan. Ia menangkap detail kecil: cara Angga meninggikan suara saat kamera menyala, lalu menurunkannya saat kamera mati; cara Angga menegur temannya karena berdiri kurang estetik saat direkam; cara Angga marah-marah kecil ketika ring light-nya jatuh.
Semuanya dicatat oleh Edi dalam pikirannya tanpa sadar.
Selama hampir dua jam, Angga dan temannya berada di showroom. Pak Ade dan satu sales wanita, Nia, membantu proses penawaran dan negosiasi. Edi, Pian, dan Sumar sesekali lewat di belakang, mengangkat barang atau membersihkan permukaan mobil lain. Mereka seperti bayangan pekerja yang tak dianggap.
Namun ada satu momen ketika Angga menoleh. Tepat ke arah Edi.
Hanya sepersekian detik. Tapi cukup bagi Edi untuk merasakan sesuatu telak di dadanya.
Tatapan Angga singkat, tapi penuh penilaian. Seolah ia melihat Edi bukan sebagai manusia, tapi sebagai bagian dari latar tempat ia membuat konten.
Seketika Edi menunduk kembali, melanjutkan pekerjaannya. Tapi tatapan itu menempel, mengganggu.
Ketika transaksi hampir selesai, Angga kembali menyalakan kameranya.
“Oke guys, jadi temen aing fix nih mau beli mobil ini! Mantap jiwa! Terima kasih buat Abadi Jaya Rangkas yang selalu melayani dengan ramah,” katanya sambil mengarahkan kamera ke Rian dan sales lainnya.
Lalu ia memutar kamera ke arah area belakang, tempat Edi berdiri.
“Makasih juga buat akang-akang yang senantiasa udah bersihin mobilnya!”
Edi terkejut. Ia tidak siap disorot kamera. Ia hanya mengangguk kecil dan tersenyum kaku.
Angga tertawa kecil. “Malu dia, guys! Hehehe.”
Bagi Angga, itu sekadar candaan ringan. Tapi bagi Edi, itu terasa seperti ditelanjangi.
Ketika Angga akhirnya pergi bersama temannya, suasana showroom kembali tenang. Namun bagi Edi, ada sesuatu dalam dirinya yang belum mereda. Ia merasa seakan pintu baru telah terbuka dalam pikirannya.
Pian menepuk pundaknya.
"Santai, Di. Arana geh nyieun konten." - “Santai, Di. Namanya juga orang bikin konten.”
Edi mengangguk, tersenyum tipis. Tapi matanya tidak ikut tersenyum.
Karena di kepalanya, satu nama mulai mengendap perlahan. Angga. Dan entah mengapa, nama baru itu terasa begitu penting.