Pagi itu showroom Abadi Jaya Rangkas tidak seramai biasanya. Matahari baru naik sepenggalah ketika Edi meletakkan tumpukan berkas di meja resepsionis. Pian sedang menyapu lantai ubin yang mengilap, sementara Sumar sibuk merapikan brosur promo kredit akhir tahun. Rutinitas yang sama. Karpet yang sama. Bau pengharum ruangan yang sama.
Sampai suara “Kang, izin konten ya!” memecah kejenuhan itu. Edi mengangkat wajah. Dan di sana, dengan jaket denim biru gelap, rambut disasak rapi, dan earbud masih bertengger di telinga, berdiri Angga Pratama. Dengan dua orang temannya.
Salah satunya membawa kamera kecil dengan stabilizer; yang lain menenteng tas ransel penuh peralatan. Mereka masuk seperti rombongan artis yang sudah terbiasa disoraki, padahal showroom itu masih sepi, cuma ada Edi, Pian, dan Sumar.
“Assalamualaikum, Pak!” seru Angga sambil menepuk bahu bos Edi yang muncul dari ruangannya.
"Waalaikumsalam, Ga. Waduh rame nih. Yuk, yuk mangga. Kumaha konsep poe ieu?" - “Waalaikumsalam, Ga. Waduh, rame nih. Yuk, yuk. Silakan. Gimana konsep hari ini?”
“Marketing, Pak,” jawab Angga dengan senyum lebarnya, senyum yang bagi kebanyakan orang tampak ramah… tapi bagi Edi terasa palsu.
"Ceuk bapak kamari, rek naekeun engagement showroom. Nah, abdi rek nga review fasilitasna, tempatna, jeung mobil-mobil nu tos siap." - “Kata bapak kemarin, mau naikin engagement showroom. Nah, saya review fasilitasnya, tempatnya, sama mobil-mobil yang ready.”
Pak Hendra mengangguk. “Sip! Anak-anak saya bantu ya.”
“Siap, Pak,” Angga mengangkat kamera. "Urang jieun nu jujur bae, Pak. Supaya narural." - “Kita buat yang jujur aja, Pak. Biar natural.”
Kata “jujur” itu yang membuat Edi otomatis mengernyit. Dari balik rak brosur, Edi memperhatikan. Angga berjalan ke pusat ruangan, lalu mulai merekam sambil berbicara ke kamera.
“Halo semua, balik deui jeng aing guys, Angga Pratama. Sekarang aing ada di showroom Abadi Jaya Rangkas, tempat yang katanya…" ia menahan tawa..“jadi favorit warga Lebak untuk cari mobil dan motor berkualitas. Tapi kita lihat bener apa enggak, ya.”
Edi menggeleng kecil. Nada itu… nada merendahkan tapi dibungkus candaan. Teman yang memegang stabilizer tertawa. “Cakep, Ga. Ulang lagi tapi lebih nyantai.”
“Siap.”
Mereka mengambil ulang. Dan kali ini Angga melangkah ke sofa ruang tunggu.
“Ini ruang tunggunya. Lumayan, tapi agak sempit. Kursinya… hmm… yaaa gitu deh. Standar banget. Harusnya showroom gede kayak gini bisa lebih niat sih.”
Pian menghentikan sapu di atas lantai. Sumar memutar bola matanya. Edi mengepalkan jari-jari.
"Keubeul-keubeul brengsek Oge," - “Lama-lama brengsek juga,” gumam Pian lirih.
"Ngomong standar?" - “Bilang standar?” Sumar mendesis. "Heubeul can dibenerkeun, korsi na parah banget. Si eta teu nyaho kitu." - “Dulu sebelum dibenerin, kursinya parah banget. Dia enggak tahu apa.”