Hujan turun rintik-rintik sejak pukul delapan malam, membasahi halaman kecil kost Edi yang diterangi lampu kuning kusam. Udara dingin menusuk, tapi Edi tidak peduli. Ia duduk bersila di lantai kamarnya, hanya ditemani cahaya redup dari lampu berwarna putih kebiruan. Rambutnya yang masih basah sehabis mandi meneteskan air ke lantai, namun seluruh fokusnya hanya tertuju pada sebuah ponsel di tangannya.
Nama akun itu terpampang di layar: @anggapratama31_official.
Ia sudah membuka profil itu puluhan kali sejak pulang kerja. Tapi malam ini berbeda. Malam ini adalah pertama kalinya Edi memutuskan untuk menelanjangi kehidupan seorang manusia lewat layar kecil dan bantuan laptop di tangannya.
Dan target pertamanya: Angga.
Ia mulai dari hal paling sederhana, rutinitas unggahan. Ia menggeser layar, menghitung jeda waktu antara postingan. “Jam 6 pagi, jam 12 siang, jam 8 malam …” gumamnya, mencatat di buku kecil di sampingnya dengan tulisan rapi, hampir seperti catatan kerja seorang teknisi.
Edi memang orang yang cerdas di sekolah. Dan ia punya satu kemampuan bawaan: rasa ingin tahu yang ekstrem, dingin, dan terukur. Jika ia mengincar sesuatu, ia akan memetakannya dengan presisi yang jarang dimiliki orang lain.
Ia mempercepat video-video pendek Angga, memperhatikan gesture, nada bicara, dan karakter yang ditampilkan Angga di depan kamera. Semua tampak ceria, penuh motivasi, penuh senyum. Edi sampai memicingkan mata, seolah semakin lama ia menatap, semakin jelas ketidaktulusan itu terbaca.
“Apa benar kayak gitu kalau di dunia nyata?” tanyanya pada diri sendiri.
Ia menggeser ke kolom komentar.
Beberapa komentar berbunyi:
“Fake banget lur, gaya lo.”
“Ngomong doang gede. Konten enggak bermutu.”
“Sok artis nih orang. Padahal enggak asik.”
“Follower beli itu?”
Ada ratusan komentar serupa. Dan saat membaca itu, hati Edi terasa dingin, tapi bukan dingin ketakutan. Dingin kepuasan. Sudut bibirnya terangkat sedikit, bukan senyum bahagia, melainkan semacam lirikan puas bahwa dunia luar sebenarnya tidak sepenuhnya memandang Angga sehebat dirinya sendiri.
Semakin ia membaca komentar negatif, semakin kuat dorongan untuk menggali lebih dalam.
Pukul 10 malam.
Edi beralih ke akun lain yang sering nongol di komentar Angga. Beberapa akun terlihat sering nongkrong dengan Angga, beberapa tukang foto, beberapa akun olshop kecil yang pernah endorse kontennya. Semua ia buka satu per satu. Ia menemukan pola lain: tempat nongkrong Angga. Cafe kecil di Rangkas, lapak kopi dekat alun-alun, dan tempat karaoke murahan yang sering ia tampilkan di story.
Ia mencatat semuanya. Lalu ia membuka Facebook lama Angga, akun yang kelihatan tidak terlalu ia rawat lagi. Dari situ Edi menemukan foto masa kecilnya, lomba-lomba kecil, acara kampung di Pandeglang. Dan semakin ia membuka sisi-sisi yang tidak Angga tampilkan di Instagram, semakin jelas kontras antara persona online dan realita. Ia kembali mencatat. Semua terasa mengalir dengan mudah. Seolah-olah sejak awal pikirannya memang dipersiapkan untuk hal seperti ini: membaca manusia seperti membaca manual mesin.
Keesokan harinya, jam Istirahat Kerja.
Panas siang itu lumayan menyengat, berbeda dengan kemarin, membuat udara di luar showroom bergelombang. Edi keluar dari pintu belakang showroom menuju Warung WMJ, warung yang kumuh tapi legendaris di kalangan para karyawan dan sopir. Aroma sambal terasi, bawang goreng, dan kuah soto bercampur menjadi satu. Suasana ramai seperti biasa. Namun ada yang berbeda siang itu.
Warung yang biasanya hanya diisi orang-orang berkemeja lusuh kini penuh berkerumun. Suara tawa dan teriakan kecil terdengar dari depan warung.
Edi sempat mengerutkan dahi. “Kok rame amat?”
Saat ia mendekat, barulah ia melihat pusat kerumunan itu. Angga.
Dengan senyum lebarnya, ia berdiri sambil digapit pembeli bahkan supir angkot, mempersilakan mereka berfoto. Ia mengenakan kaos hitam, kacamata hitam menempel di kepala, dan memegang HP berkamera mahal, yang jelas bukan kelas karyawan showroom.
Para pengunjung tampak bahagia. Mereka tertawa, bergantian foto, memuji Angga, memanggilnya “Si artis lokal”.
Sesuatu dalam diri Edi terasa mencelos. Semacam tekanan di dada. Orang-orang ini benar-benar mengagumi dia? Serius? Di warung kumuh begini?
Edi melangkah melewati kerumunan tanpa niat mendekat. Ia hanya ingin makan. Tidak lebih. Ia memesan nasi beserta lauknya, pada mba Mimin, pemilik warung. Tapi sebelum sendok pertama masuk mulutnya, kursi di sampingnya bergerak.
Angga duduk di situ.
"Eh si kang Edi, saha tea? Bener kan?" - “Eh si kang Edi, siapa si? Benar kan?” tanya Angga sambil tersenyum sok akrab.
Edi menoleh pelan.
"Muhunz kang." - “Iya, Kang.”
"Wah kabeuneuran amat katimu didieu. Kadieu, makan bareng urang." - “Wah kebetulan banget ketemu di sini. Sini, kita makan bareng.”
Mata Edi meredup sedikit. Ia tidak ingin percakapan ini. Tapi menolak akan terlihat tidak sopan.
Angga memesan makanan, lalu tanpa ditanya, ia mulai mengobrol. Tentang bagaimana ia membuat konten, gimana caranya bertahan hidup di kota lain, bagaimana cari rezeki halal, bagaimana perlu kerja keras dan tidak boleh malas.