Terminal Lama

Topan We
Chapter #14

Angga Pratama - Pengintaian

Minggu pagi ini berjalan lambat, seolah waktu sengaja memberi ruang bagi Edi untuk menuntaskan rencana yang telah ia susun berhari-hari. Di kotsnya, setelah mandi dan berpakaian rapi, ia menatap dirinya di cermin kecil yang menggantung di dinding. Wajahnya biasa, bahkan terlalu biasa, tetapi mata itu, mata Edi, menyimpan sesuatu yang tidak diketahui banyak orang: ketenangan yang janggal.

Ia mengenakan jaket abu-abu yang biasa ia pakai sebagai setelan bekerja ke showroom, agar penampilannya tidak mencurigakan. Ponsel dimasukkan ke saku, buku catatan disembunyikan jauh di laci, dan kunci motor ia genggam dengan mantap.

Hari ini, Edi tidak lagi hanya mengamati dari jauh. Hari ini, ia beraksi lebih dekat.

Jalanan Rangkas hari itu cukup lengang. Hari Minggu memang membuat sebagian besar warung dan toko terlambat buka. Motor Edi melaju pelan, tidak tergesa. Angin pagi menyapu wajahnya, tetapi pikiran Edi terlalu terfokus untuk terganggu oleh dinginnya.

Sepanjang perjalanan, ia mengulang-ulang skenario dalam kepalanya:

Bagaimana jika Angga tidak ada di rumah?

Bagaimana jika Angga curiga?

Apa alasan paling masuk akal jika Angga bertanya?

Ia telah menyiapkan jawabannya: bosnya meminta Angga membuat konten iklan baru dan ia ingin belajar membuat konten.

Kedua alasan itu cukup masuk akal. Cukup sederhana. Dan yang terpenting: tidak meninggalkan kesan bahwa ia datang untuk hal-hal berbahaya. Ketika motor Edi memasuki gang kecil menuju rumah sewa Angga, terasa atmosfer sunyi yang sebelumnya ia catat. Tidak ada anak-anak main. Tidak ada tetangga yang duduk-duduk. Hanya suara burung di kejauhan.

Rumah itu berada persis di ujung, seperti yang ia ingat.

Tirai tertutup. Sepeda motor Angga terparkir di teras. Ada seseorang di dalam. Edi turun dari motor dan menarik napas perlahan. Dengan langkah yang tidak terburu-buru, ia menghampiri pintu kayu rumah sewa itu. Jantungnya berdegup stabil, bukan karena gugup, tapi karena fokus.

Ia mengetuk pintu tiga kali. Tidak terlalu keras, tidak terlalu pelan. Suara langkah kaki mendekat. Lalu, pintu terbuka.

Angga berdiri di balik pintu, mengenakan kaos putih dan celana pendek. Rambutnya acak-acakan seperti orang yang baru selesai mandi atau baru bangun tidur.

“Loh… Kang Edi, ya?” Angga mengerutkan kening.

Suaranya terdengar benar-benar tak menyangka. Wajar. Ia hanya beberapa kali melihat Edi, dan bercakap santai di showroom. Dan itu pun dalam kapasitas sebagai cleaning service.

"Eh, muhunz Kang," - “Eh, iya, Kang,” jawab Edi dengan senyum kecil.

"Aya naon, Kang?" - “Ada apa, Kang?” tanya Angga sambil mengusap rambutnya. Nada suaranya bukan marah, lebih seperti bingung.

"Ameung bae sih. Aya saeutik urusan oge." - “Cuma main sih. Ada sedikit urusan juga.”

Angga memandang Edi selama dua detik, lalu tersenyum dan membuka pintu lebih lebar.

"Asup bae, Kang. Aneh Bae sih tiba-tiba si kang Edi kadieu. Tapi teu nanaon m. Hayu asup." - “Masuk aja, Kang. Aneh aja gitu ya tiba-tiba si Kang Edi kesini. Tapi enggak apa-apa. Ayo masuk.”

Lihat selengkapnya