Pagi berikutnya datang dengan langit yang mendung. Edi bangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena ia bersemangat, melainkan karena pikirannya terus memutar ulang adegan dalam ruang konten Angga, letak ring light, panjang kabel, colokan samping meja, hingga jeda kecil antara pintu dan dinding yang bisa mengisolasi suara.
Ia duduk di bangkunya. Buku catatan itu ia buka perlahan, dan halaman baru ia beri judul:
“Observasi Lanjutan : Angga Pratama.”
Tangan Edi bergerak tenang. Denting jam dinding menjadi satu-satunya suara yang mengisi kamar kost itu.
Namun kali ini, rencananya tidak berhenti pada apa yang ia lihat langsung. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih dalam. Lebih personal. Lebih… rapuh. Sesuatu yang biasanya hanya ditemukan di balik layar media sosial.
Edi membuka Instagram. Ia mengetik nama salah satu olshop kecil yang baru kemarin memposting foto endorsement bersama Angga. Akun bernama “trendydaily_shop” itu memiliki followers tidak banyak, sekitar tujuh ribu saja, cukup kecil untuk ukuran selebgram endorse.
Edi melihat foto Angga yang tersenyum dengan pose “peace”, memegang produk tas kecil berwarna pastel.
Captionnya singkat:
“Thanks @anggapratamaa untuk supportnya! Semoga laris manis yaa.”
Namun Edi lebih tertarik pada komentar-komentar:
“Ini mah enggak niat endorse wkwk.”
“Gitu amat si Gahil wkwk”
“Harga segitu dapet review cuma 5 detik? Hadeeh.”
Ada yang janggal. Dan seperti biasa, hal janggal menarik Edi. Ia membuka DM, mengetik pelan namun terstruktur:
"Selamat pagi, admin. Saya mau tanya soal kerja sama endorse dengan @anggapratama31. Saya sedang butuh influencer untuk promosi, tapi saya dengar ada yang kurang enak pengalamannya. Apakah benar begitu? Mohon infonya!"
Edi membaca ulang DM itu. Tidak menuduh langsung. Tidak tampak mencurigakan. Netral, informatif, dan membuka peluang. Ia kirim.
Tak sampai lima menit, balasan masuk.
"Iya, Kak...Sebenarnya kami bingung mau cerita apa enggak.."
Edi mencondongkan tubuh. Tidak ada senyum di wajahnya, tetapi matanya memancarkan perhatian yang seram. Ruas jarinya mengetuk meja pelan, ritmis, sabar.
Chat masuk lagi.
"Kang Angga itu sebenarnya baik. Tapi waktu itu dia dateng telat, marah-marah di lokasi, bilang tempat kami enggak layak buat shooting..."
Edi berhenti mengetuk meja. Sebuah celah baru. Celah yang bisa dijadikan narasi. Celah untuk mengeksploitasi.
DM itu berlanjut:
"Terus review video nya buru-buru banget. Padahal kami udah bayar sesuai red card dia. Jujur kami sedikit kecewa..."
Edi menutup mata sejenak. Ada bagian dari dirinya yang menikmati kalimat itu. Seperti menemukan potongan puzzle terakhir dari wajah seseorang yang ingin ia pecahkan.
Ia mengetik lagi:
"Terima kasih banyak, admin. Informasinya sangat membantu saya."