Pagi itu tidak seperti biasanya bagi Angga. Dari semalam ia sudah merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya, bukan sakit, bukan pula capek, hanya gelisah yang merayap pelan tanpa sebab. Saat ia membuka mata, rasa itu belum hilang. Ia duduk di pinggir kasur, mengusap wajah, lalu menatap ke arah jendela yang tirainya belum terbuka. Udara kamar sewa itu terasa lebih berat dari biasanya.
Padahal hari itu ia seharusnya mengambil satu job endorse dari sebuah olshop kecil. Job yang sudah ia tunggu karena bayaran lumayannya. Namun sesuatu terjadi malam tadi. Mendadak admin olshop itu membatalkan kerja sama. Alasannya terdengar mengada-ada dan tidak jelas.
Angga kesal, tapi gelisah itu lebih besar daripada kekesalannya. Ia tidak mengerti kenapa. Ia tidak tahu bahwa orang yang membuat job itu batal bukanlah admin, melainkan seseorang yang sudah lama mengamati dirinya, Edi.
Sementara itu, di kostnya, Edi sudah bangun jauh sebelum matahari benar-benar meninggi. Malam sebelumnya ia menangis dalam sujud, tetapi pagi ini wajahnya datar seperti air yang tenang. Tidak goyah. Tidak bimbang. Sudah mantap. Ia merapikan bajunya, memasukkan buku catatan ke dalam tas kecil, lalu menatap dinding yang sudah ia hafal bentuk retaknya. Satu tarikan napas panjang ia ambil, seperti orang yang akan menyelam ke air dalam. Tanpa ragu lagi, ia melangkah keluar.
Hari ini, pikirnya, bukan hari sembarangan. Ini hari yang ia rencanakan selama satu minggu lalu.
Angga sebenarnya ingin istirahat saja. Tapi pesan Edi yang masuk pagi itu membuatnya ragu-ragu untuk menolak.
"Kang Angga, min tiasa Poe ieu ajaran abdi nyieun konsep konte, nya?" Abdi tos ngomong ka bos toko elektronina Oge." - "Kang Angga, kalau bisa hari ini ajarin saya konsep konten, ya? Saya sudah bilang ke bos toko elektroniknya juga."
Toko elektronik? Endorse baru? Bayarannya? Angga mengernyit.
Meski mood-nya kacau, Angga adalah tipe orang yang sulit menolak uang. Jika betul ada tawaran endorse tambahan, apalagi yang menggiurkan, maka ia masih bisa memaksakan diri. Tapi rasa gelisah itu masih menggerogoti perutnya. Ia memutuskan menunda dulu, membuka ponsel… namun layar tetap kosong. Tidak ada job baru. Tidak ada email kerja sama. Hanya pesan dari Edi.
Ia baru sadar: yang menyebutkan soal tawaran endorse itu hanya Edi seorang.
Tapi Angga terlalu malas untuk berpikir. Ia akhirnya mengetik jawaban:
"Ya udah kang, datang bae ka rompok. Tapi saya can sarapan. Si akang datang jam salapan bae." - "Ya udah mas, datang aja ke rumah. Tapi saya belum sarapan. Si akang datang jam sembilan aja.”
Jam sembilan tepat, Edi sudah berdiri di depan rumah sewa Angga. Ia memperhatikan sekeliling. Dua rumah yang ia incar seminggu terakhir tampak kosong, seperti dugaan dan perhitungannya. Udara pagi terasa lembab, namun gang itu sepi seperti pagi hari libur yang malas.
Edi mengetuk pintu.
Tak lama kemudian suara sandal diseret terdengar mendekat. Pintu terbuka, dan Angga muncul dengan rambut acak dan wajah kusut, seperti orang yang tidur terlalu larut.
"Kang Edi?" - “Kang Edi?” suaranya terkejut, sedikit heran, tapi tetap sopan seperti biasa.
"Iya, Kang... maaf datang pas waktuna. Tadi kang Angga ngomong jam salapan." - “Iya, Mas… maaf datangnya pas waktunya. Tadi Mas Angga bilang jam sembilan.”
"Heuh, heuh... asup bae." - “Iya, iya… masuk aja.”
Angga menyingkir memberi jalan. Edi melangkah masuk sambil menyapu ruangan dengan tatapan yang sangat tersamar. Tidak berlebihan, tidak mencurigakan, namun sekaligus sangat teliti. Ia memperhatikan posisi kabel di lantai, letak stop kontak, arah meja konten, bahkan ring light yang tersandar di dinding.
Semua yang sudah ia hafal kini terlihat langsung di depan mata.
Dan itu membuat jantungnya berdetak secara berbeda, tenang, tapi intens.
"Kang Edi tungguan di ruang konten bae nyah," - “Kang Edi tunggu di ruang konten dulu ya,” kata Angga seraya menuju dapur. "Saya rek masak mie heula. Can sarapan nih." - “Saya mau masak mie dulu. Belum sarapan nih.”