Sumar berdiri di depan pintu masuk kantor Abadi Jaya Rangkas dengan raut wajah yang sulit ditebak. Kemeja kerjanya masih rapi seperti biasa, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda, campuran lega, lelah, dan ketegasan yang ia pendam lama.
Setelah empat tahun menjadi karyawan senior di bagian cleaning service, ia akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Bukan karena tempat itu buruk. Bukan karena gaji kecil. Bukan karena ia tidak betah. Melainkan karena hatinya merasa… sudah cukup. Ada panggilan lain yang tak bisa ia abaikan lagi. Beberapa minggu terakhir Sumar sering merenung di mushola kecil belakang kantor; ia merasa waktunya bekerja di Abadi Jaya sudah selesai.
Di ruang tengah kantor, suasananya hangat meski ada aura sedih. Pian mencoba tersenyum sambil menepuk bahu Sumar.
"Kang, bener nya ieu moal dipikir heula? Bisa kangen eungke kamu ka maneh lamun tos teu aya." - “Kang, bener nih enggak mau dipikir dulu? Bisa kangen kita nanti kalau kamu enggak ada.”
Pak Ade, sales senior yang sudah seperti kakak bagi Sumar, ikut menimpali, "Opat tahun, Mar...maneh tos jadi bagian keluarga. Tapi lamun ieu keputusan anu terbaik, ya kami dukung." - “Empat tahun, Mar… kamu udah bagian dari keluarga. Tapi kalau ini keputusan terbaik, ya kita dukung.”
Nia, sang admin, bahkan menahan air mata.
"Kang Sumar teh bageur, paling payun mantuan saya lamun saya karepotan. Beurat amat ningalina indit..." - “Kang Sumar itu orang baik, selalu paling depan bantuin aku kalau lagi kerepotan. Berat banget lihat dia pergi…”