Tiga hari berlalu sejak kematian Angga, tiga hari penuh keheningan, keterlambatan, dan ketidakpedulian yang tak disengaja. Rumah sewa Angga masih terkunci rapat, jendelanya tertutup tirai. Tidak ada tanda-tanda aktivitas, padahal biasanya suara musik, lampu ring light, atau obrolan live selalu terdengar dari dalam.
Salah satu temannya, Rendi, mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia sebenarnya telah menghubungi Angga sejak hari pertama, mengirim pesan, voice note, bahkan missed call berkali-kali.
Tidak ada balasan. Tidak ada tanda centang biru. Tidak ada aktivitas online.
Awalnya ia mengira Angga hanya sibuk, atau sedang “detoks” dari sosial media seperti yang kadang Angga lakukan. Tetapi semakin hari, gelisahnya semakin kuat, hingga akhirnya ia nekat datang ke rumah sewa itu.
Saat tiba, Rendi langsung merasakan hawa aneh. Sunyi. Udara di depan pintu terasa berat. Ada bau samar yang tidak biasa.
Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu berkali-kali. Tidak ada respons.
Ia mencoba memanggil.
“Ngga… Angga… Ga buka pintunya!”
Tetap tidak ada jawaban.