Edi pulang dari showroom lebih awal. Hatinya sedang tak enak, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pagi. Ia memutuskan melewati kawasan alun-alun sebelum pulang ke kost. Di sinilah ia melihat pemandangan yang langsung membuat langkahnya terhenti, Cindy. Bersama seorang laki-laki.
Keduanya berdiri cukup dekat, sambil membahas sesuatu dari sebuah map tebal. Mereka tampak serius, sesekali Cindy menunjuk lembaran kertas, sementara laki-laki itu mengangguk-angguk.
Namun bagi Edi yang melihat dari jauh, pemandangan itu terasa seperti pisau yang ditancapkan perlahan ke dadanya.
"Astaga...jeng saha si eta?" - "Astaga… sama siapa dia?"
Jantung Edi berdegup kencang. Kepalanya panas. Amarah itu muncul begitu saja, tanpa peringatan. Padahal ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya melihat… dan langsung menyimpulkan.
Sementara Cindy sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
Sore itu hingga malam, Edi berulang kali menghubungi Cindy. Lima panggilan tak terjawab. Belasan pesan hanya centang satu. Dan setiap detik Cindy tidak membalas, amarah Edi semakin memuncak.
Dari dalam kamar kostnya yang gelap, Edi duduk sambil menatap ponsel di tangan. Napasnya berat.
"Kunaon si eta teu muka hp sih?" - “Kok dia nggak buka HP sih?” gumamnya dengan suara menahan emosi.
Pada saat bersamaan, Cindy masih sibuk mengerjakan tugas akhir bersama sahabat satu prodinya. Mereka berpacu dengan deadline menjelang bimbingan esok pagi. Ponsel Cindy ada di dalam tas, tanpa ia sentuh sejak siang.
Ia tidak tahu bahwa seseorang sedang berkecamuk menahannya.
Malam itu, akhirnya Cindy sempat membuka ponsel. Deretan panggilan dan pesan dari Edi membuatnya langsung tegang.
"Duh... Edi kunaon sih?" - Duh… Edi kenapa sih?"
Belum sempat ia mengetik balasan, ponselnya berdering lagi. Edi menelepon.
"Cindy... maneh bisa teu ke kost saya ayeuna?" - “Cindy… kamu bisa ke kost aku sekarang?” suara Edi berat, penuh tekanan.
Cindy menghela napas.
"Edi, saya keur ngabereskeun..." - “Edi, aku lagi nyelesaiin...”