Terminal Lama

Topan We
Chapter #25

Cindy Ayu Utami - Gagal

Hubungan Edi dan Cindy tumbuh terlalu cepat, seperti api yang diberi bensin setiap hari. Mereka saling mengenal bukan dari permukaan, melainkan dari luka. Dari cerita masa kecil, dari ketidakhadiran orang tua, dari kesepian yang sama-sama mereka peluk erat. Dan justru karena itu, rasa memiliki mereka berkembang menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang rapuh dan berbahaya. Cinta mereka tidak sederhana. Ia bercampur dengan cemburu. Dengan ketergantungan. Dan dengan rasa takut kehilangan.

Sebulan berlalu sejak Cindy pertama kali menginap di kost Edi. Dalam rentang waktu itu, Cindy semakin sering datang. Ia mengatur jadwal kuliahnya agar bisa menyelipkan waktu untuk Edi. Sementara Edi, yang sejak awal memang menyukai keteraturan, mulai menjadikan Cindy sebagai bagian dari rutinitasnya. Ia menunggu pesan Cindy di jam tertentu. Menghafal suara langkahnya di lorong kost. Mengingat aroma parfumnya yang begitu kuat.

Namun di balik kedekatan itu, ada sesuatu yang tumbuh diam-diam di dada Edi. Sesuatu yang tidak pernah ia sebutkan. Sesuatu yang ia pendam dengan rapi. Cemburu jika melihat ia dekat dengan seorang lelaki, walau itu bukan siapa-siapa bagi Cindy.

Hari itu, Cindy mengirim pesan singkat.

"Di, ngkin beurang saya rek ka warung WMJ nyah. Tapi bareng Roni. Sakalian eumam urang." - “Di, nanti siang aku mau ke WMJ ya. Tapi aku bareng Roni. Sekalian makan kita."

Nama itu membuat jari Edi berhenti bergerak di layar ponsel. Roni.

Ia tahu nama itu. Sahabat Cindy di kampus. Satu prodi. Sering membantu Cindy mengurus tugas akhir. Laki-laki yang menurut Cindy “enggak ada apa-apa”.

Edi membaca pesan itu berulang kali. Tidak membalas langsung.

Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ini hal sepele. Bahwa Cindy hanya ingin makan bersama. Bahwa ia tidak boleh terlihat posesif. Ia sudah berjanji, setidaknya pada dirinya sendiri, untuk tidak menunjukkan sisi itu lagi.

Ketika mereka bertemu di Warung WMJ, Edi sudah memasang wajah paling netral yang ia miliki.

Roni menyapanya dengan ramah. Laki-laki itu tinggi, kurus, berambut cepak, dan berbicara dengan nada sopan. Tidak ada sikap yang mencurigakan. Tidak ada sentuhan berlebihan pada Cindy. Bahkan duduk pun menjaga jarak.

Namun bagi Edi, kehadiran Roni saja sudah cukup.

Ia memperhatikan setiap tawa Cindy. Setiap kali Cindy menoleh ke Roni saat berbicara. Setiap senyum kecil yang muncul tanpa ia sadari. Semua itu terekam rapi di kepala Edi, seperti catatan yang tidak ia tulis, tapi ia simpan.

Edi ikut tertawa. Ikut mengangguk. Ikut berbincang. Tidak satu pun dari mereka tahu bahwa di balik mata Edi yang tenang, ada api kecil yang terus dijaga agar tidak terlihat. Setelah makan, Roni pamit lebih dulu.

"Kang, Hatur nuhun nya." - “Kang, makasih ya,” katanya sambil menjabat tangan Edi.

Edi membalas jabatannya dengan senyum tipis. “Iya. Sama-sama.”

Lihat selengkapnya