Malam itu, Cindy tidak mengajak Edi ke WMJ seperti biasanya.
Pesan itu datang sore hari, singkat namun terasa berbeda.
"Di, malem ieu urang eumam di tempat lain bae nyah. Saya hayang kamu apal tempat favorit saya makan." - “Di, malam ini kita makan di tempat lain aja ya. Aku pengen kamu tau tempat makan favoritku.”
Edi membaca pesan itu lama. Ia tidak bertanya di mana. Ia hanya membalas dengan satu kata.
“Iya.”
Sebenarnya, Edi tidak terlalu peduli soal tempat. Lagipula ia sudah tahu bahwa tempat yang dituju sedang ramai diperbincangkan. Entah karena pelayanan terbaik, atau rasa yang memiliki kualitas tinggi. Baginya, bersama Cindy sudah cukup. Namun ada sesuatu dari nada pesan itu, sesuatu yang membuatnya merasa ini bukan sekadar makan malam biasa.
Matahari sudah tenggelam ketika mereka bertemu di pertigaan dekat terminal. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya kusam di aspal yang tak pernah benar-benar bersih. Cindy tampak ceria. Ia mengenakan pakaian sederhana, namun rapi. Rambutnya diikat setengah, wajahnya segar meski lelah oleh aktivitas kampus.
“Kita lewat Terminal Mandala aja,” kata Cindy sambil tersenyum.
"Aya tempat eumam kuliner nu keur viral." - “Ada rumah makan kuliner yang lagi viral.”
Edi mengangguk. Ia mengikuti langkah Cindy, seperti biasa.
Terminal Mandala malam itu ramai. Aroma makanan bercampur asap kendaraan dan suara obrolan pengunjung menciptakan hiruk-pikuk yang hidup. Di sudut kawasan kuliner, sebuah rumah makan terlihat paling mencolok. Lampunya terang, kursi-kursinya hampir penuh. Spanduk besar bertuliskan nama warung itu tergantung di depan, nama yang belakangan sering muncul di media sosial lokal.
“Itu,” kata Cindy sambil menunjuk.
“Tempatnya teh Ega.”
Mereka masuk. Suasana di dalam hangat. Meja-meja kayu tertata rapi. Dindingnya dipenuhi foto-foto quotes dan beberapa potongan artikel daring yang memuji cita rasa masakan di sana. Seorang wanita berdiri di dekat kasir, mengenakan kaus sederhana dan celemek. Rambutnya diikat rapi. Gerakannya sigap.
“Itu teh Ega,” bisik Cindy.
"Nu gaduh tempat." - “Pemiliknya.”
Seolah mendengar namanya, wanita itu menoleh. Matanya langsung berbinar saat melihat Cindy.
“Eh! Cindy!”
Ega melangkah cepat, senyumnya lebar.
"Maneh tos lila teu kadieu!" - “Kamu lama enggak ke sini!”
Cindy tertawa kecil. "Muhun, Teh. Biasa nuju sibuk." - “Iya, Teh. Biasa lagi sibuk."
Lalu ia melirik ke arah Edi.
“Kenalin, ini ppp....pacar aku. Edi.”
Ega menoleh ke arah Edi. Senyumnya tetap ada, namun Edi, yang sejak kecil terbiasa membaca ekspresi orang, menangkap sesuatu yang lain. Tatapan itu singkat, cepat, seperti menilai. Bukan kasar. Bukan merendahkan. Tapi cukup untuk meninggalkan bekas.