Terminal Lama

Topan We
Chapter #27

Cindy Ayu Utami - Penyanderaan

Hari itu seharusnya berjalan biasa.

Cindy bangun pagi dengan kepala berat. Matanya perih akibat begadang semalaman mengerjakan revisi tugas akhir. Pesan dari dosen pembimbing masih terngiang di kepalanya, catatan kecil, tapi cukup untuk membuat pikirannya ruwet sejak pagi. Ia bahkan belum sempat membalas pesan Edi yang masuk sejak subuh.

Di kost nya, Edi sudah bangun sejak pukul lima. Ia tidak lagi bisa tidur nyenyak sejak malam makan di warung Ega. Ada sesuatu yang mengendap di pikirannya, mengganggu, berputar tanpa henti. Ia mencoba menenangkan diri dengan rutinitas: membersihkan kamar kost, menyusun sepatu, merapikan buku-buku yang berjajar rapi. Semua ia lakukan dengan teliti, seolah ketertiban benda-benda itu bisa mengatur ulang pikirannya sendiri.

Namun tetap saja, satu nama muncul berulang-ulang. Roni. Teman lelaki Cindy. Sahabat kampusnya. Nama itu bukan baru. Edi sudah bertemu dengannya 2 kali. Tapi hari ini, entah mengapa, ia terasa lebih nyata. Lebih dekat. Lebih mengancam. Pesan Edi kembali masuk ke ponsel Cindy saat ia sedang di kampus.

“Kamu di mana?”

Cindy melihat layar sekilas. Ia menghela napas.

“Lagi di perpustakaan. Sama si Roni. Ngerjain revisi.”

Jawaban itu jujur. Tidak ada yang disembunyikan. Namun kejujuran itu justru menjadi api. Edi membaca pesan itu berulang kali. Dadanya menghangat. Tangannya mengepal. Sama Roni lagi. Ia membalas cepat.

"Kunaon kudu jeung si eta Bae?" - “Kenapa harus sama dia terus?”

Cindy tidak langsung menjawab. Ia sedang berdiskusi. Waktu berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Bagi Edi, itu cukup untuk membangun seribu skenario. Ketika Cindy akhirnya membalas, nadanya sudah lelah.

"Di, saya keur pusing. Wayahna tong ayeuna " - “Di, aku lagi pusing. Tolong jangan sekarang.”

Kalimat itu terdengar biasa. Tapi di kepala Edi, itu berubah makna. Dia membela Roni. Dia menghindar. Dia menutupi sesuatu.

Edi menutup ponselnya dengan keras. Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai. Napasnya berat. Ia merasa dadanya ditekan oleh sesuatu yang tidak terlihat. Ia tidak ingin kehilangan. Ia tidak bisa kehilangan Cindy.

Sore itu, Cindy akhirnya selesai di kampus. Kepalanya semakin penuh. Ia tahu Edi sedang tidak baik-baik saja. Ia tahu harus menjelaskan, menenangkan. Namun tenaganya hampir habis.

Edi meminta bertemu.

“Ke kost aku. Kita ngomong.”

Cindy ragu. Tapi ia tidak ingin memperpanjang masalah. Ia mengiyakan.

Saat Cindy tiba di kawasan terminal lama, langit sudah gelap. Lampu-lampu jalan menyala pucat. Suasana kost seperti biasa, tenang, nyaris sunyi. Tidak ada yang aneh.

Edi membuka pintu kamarnya. Wajahnya datar. Terlalu datar.

“Masuk,” katanya singkat.

Cindy menaruh tasnya. Ia duduk di kursi kecil dekat meja. Ia menatap Edi dengan lelah.

“Ada apa, si Sayang?” tanyanya pelan.

Edi berdiri, menyandarkan punggung ke lemari. Tangannya terlipat. Tatapannya tajam, namun suaranya tetap terkendali.

"Saya arek nanya hiji hal," - “Aku mau tanya satu hal,” katanya.

"Maneh jeung si Roni aya hubungan naon?" - “Kamu sama si Roni ada hubungan apa?”

Cindy terdiam. Ia mengusap wajahnya.

“Teman,” jawabnya.

“Aku udah bilang.”

Edi mendekat selangkah.

Lihat selengkapnya