Awal Juli 2019 lalu, media sosial kita sempat riuh akan berita mengenai Audrey. Dipicu oleh salah satu akun Twitter yang mengeluarkan pernyataan bahwa Audrey merupakan anak genius asal Indonesia yang saat ini tengah bekerja di NASA. Berita viral yang tentu saja hoaks itu1 mengingatkan kami pada dua buku yang diterbitkannya di Bentang Pustaka, Mellow Yellow Drama (2014) dan Mencari Sila Kelima (2014).
Di balik riuhnya kekaguman kepada Audrey dengan sederet prestasinya yang memang mengagumkan, rasa sakit hati Audrey tercetak dengan sangat jelas melalui tulisan-tulisannya. Ia merasa diabaikan, disingkirkan, dan tidak didengar. Orang di sekitarnya hanya tertarik pada sederet prestasinya. Namun, menolak untuk mendengar perasaannya lebih jauh. Ia dianggap anak aneh karena kerap menanyakan hal-hal yang “mengganggu”. Seperti, “Kenapa rasa senang terhadap mainan baru hanya bertahan sesaat?” atau “Sebenarnya apa tujuan hidup kita di dunia?”. Uniknya, pertanyaan-pertanyaan itu memang terlontar ketika ia masih berusia 6 tahun.
Mellow Yellow Drama merupakan memoar Audrey sebagai perempuan Tionghoa yang mendapat perlakuan diskriminasi di lingkungannya. Rasa cinta Tanah Air-nya kerap diragukan karena ia dianggap bukan warga negara asli. Sementara Mencari Sila Kelima merupakan sebuah surat panjang yang ditulis Audrey berisi pemikirannya mengenai keistimewaan Pancasila. Bahwa dari Pancasila-lah, kita bisa menemukan pertalian saudara di balik adanya perbedaan seperti suku, agama, keyakinan, ras, maupun golongan.
Menulis tampaknya menjadi sebuah terapi bagi Audrey. Dibandingkan dengan mengemukakan pendapatnya melalui berbicara, Audrey terlihat lebih nyaman mengeluarkan segenap unek-uneknya melalui tulisan. Tak ada distorsi dan ia pun bebas menyelesaikan semua gagasannya tanpa khawatir disanggah sebelum pembicaraannya usai.