Apakah sebetulnya arti agama dan kepercayaan bagi umat manusia? Jika pertanyaan ini ditujukan padaku, aku akan menjawab agama dan kepercayaan adalah bingkai kehidupan. Sejak awal peradaban, manusia memiliki kebutuhan dasar untuk membingkai hidupnya, untuk memberi hidup ini makna, arti, dan tujuan.
Coba kita pikir, sebetulnya secara biologis manusia tidak banyak berbeda dari makhluk hidup lainnya. Sama seperti makhluk hidup lain, manusia perlu makanan, minuman, oksigen, dan habitat yang mendukung untuk kehidupan biologisnya. Manusia, sama seperti makhluk hidup lain, juga bisa sakit, lapar, dan haus, serta bisa berpasangan dan berkembang biak.
Seperti semua makhluk hidup, manusia memiliki jangka hidup tertentu dan harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya, sama seperti segala makhluk hidup di alam semesta, lahir dan matinya manusia adalah suatu misteri, sesuatu yang tidak sepenuhnya dalam dugaan atau kendali manusia itu sendiri.
Kita sering mendengar bahwa manusia itu unik di antara segala makhluk hidup sebab manusia memiliki akal budi. Namun, apakah hakikatnya akal budi? Akal budi memberi manusia kehausan akan keadilan dan keinginan untuk membela hal yang benar. Namun, lebih dari itu, akal budi pun mendorong manusia untuk memberi makna pada hidupnya serta berjuang untuk kepenuhan dan kekekalan.
Jika mempelajari sejarah, adat, dan tradisi dari berbagai peradaban di dunia, kita akan menyadari bahwa kehausan manusia untuk memaknai hidupnya adalah sesuatu yang universal. Sejak awal peradaban, manusia telah memiliki tradisi, kebiasaan, dan kepercayaan tertentu mengenai kelahiran, pernikahan, kematian, dan akhirat.
Walaupun secara biologis memiliki kebutuhan dasar yang sama dengan makhluk hidup lain, kita menolak menjalani hidup tanpa makna. Kita ingin hidup ini ada maknanya, ada tujuannya. Dan, apakah tujuan akhir hidup ini jika bukan kepenuhan serta kekekalan?
Oleh karena itu, jika mempelajari sejarah dan tradisi umat manusia, kita akan melihat sejak zaman dahulu manusia telah memiliki kehausan akan makna, kepenuhan, dan kekekalan. Kehausan ini mendorong kita untuk membingkai hidup dengan berbagai macam tradisi, adat, kebiasaan, dan kepercayaan.
Seiring dengan perubahan zaman, “bingkai-bingkai” ini berkembang. Kita bisa melihatnya dalam perkembangan sejarah agama, terutama agama tua yang telah berusia ribuan tahun. Walaupun para pengikut agama tertentu mengagumi dan meneladani semangat pencetus agamanya, dalam sejarah agama tersebut selalu terjadi penyesuaian “bingkai”.
Hal ini terjadi karena agama, sama seperti manusia itu sendiri, adalah sesuatu yang dinamis. Seiring perkembangan dan perubahan hidup dan zaman, bingkai tersebut juga akan berubah. Ini hal yang biasa sebab agama pada esensinya adalah suatu pencarian.
Manusia, didorong oleh kehausan akan makna, kepenuhan, dan kekekalan, berusaha mencari jawaban melalui hati dan pikirannya, sambil mengasimilasi segala yang telah ia pelajari dari orang-orang di sekitar. Hasilnya adalah “bingkai” agama yang sebetulnya sama uniknya dengan manusia itu sendiri.
Maka, dalam agama yang sama (terutama agama besar yang sejarahnya panjang), kita dapat melihat banyak variasi, dengan segala jenis umat beragama dari segala zaman dan daerah yang memiliki “bingkai” berbeda-beda dalam memahami dan menjalankan agama tersebut. Hal ini sesuatu yang normal dan lazim. Sebab; agama, kepercayaan, serta filsafat hidup pada dasarnya adalah suatu pencarian yang dinamis, yang didasari oleh kehausan kita akan kepenuhan dan kekekalan.