Aku sering berpikir, Apa gerangan yang membuat Indonesia sulit untuk bersatu dan menjadi negara maju? Jika dilihat dari segi populasi, Indonesia termasuk negara dengan populasi terbesar keempat di dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, dan Amerika Serikat.
Akan tetapi, saat aku tinggal di RRT dan Amerika Serikat, lalu ditanya berasal dari mana, banyak orang yang tidak tahu “Indonesia” itu ada di mana. Akhirnya aku menjawab, Indonesia bertetangga dengan Singapura dan Malaysia. Eh, ternyata orang-orang ini sering mendengar nama “Malaysia” dan “Singapura”, tetapi tidak pernah mendengar tentang Indonesia!
Bukan itu saja. Aku juga sering berpikir, Apa yang membuat negara lain mampu menjajah Indonesia selama ratusan tahun? Kan, negara penjajah ini kecil dan nun jauh di sana dan saat itu teknologi relatif kuno. Negara penjajah tidak mampu mengirim banyak prajurit untuk menjajah negara sebesar dan sejauh Indonesia.
Saat itu juga tidak ada pesawat terbang atau telepon. Kapal yang berlayar di laut mengalami banyak bahaya, mulai dari badai yang mampu membuat kapal karam, kekurangan gizi awak kapal yang mengakibatkan wabah mematikan seperti skorbut1, bahaya dari bajak laut atau kapal musuh, dan sebagainya. Namun, nyatanya, Belanda masih mampu menjajah Indonesia selama lebih dari 300 tahun. Apa, sih, rahasianya hingga mereka mampu menjajah Indonesia selama itu?
Saat di bangku sekolah dasar, aku sering mendengar bahwa negara penjajah menggunakan taktik “devide et impera”, yaitu taktik memecah belah bumi Nusantara agar orang-orang saling memusuhi dan tidak mampu bersatu untuk melawan atau mengusir penjajah. Namun, tetap saja aku ingin tahu, mengapa taktik ini begitu berhasil di Indonesia? Aku juga heran mengapa manusia seperti aku, yang katanya memiliki banyak talenta dan bakat lain, hidupnya begitu sengsara di Indonesia.
Mengapa aku, yang sedari kecil memiliki kecintaan yang besar terhadap negara dan masyarakat, orang tua yang cukup mapan secara finansial, pendidikan yang baik, dan sebagainya, justru tidak mampu berbahagia di negara sendiri? Begitu besar kesengsaraanku sehingga akhirnya demi kesehatan dan kebahagiaanku, aku harus tinggal di negeri orang. Apa yang membuat Indonesia—tanah yang penuh potensi, sumber daya alam, keindahan, dan keragaman—mudah dipecah belah dan sulit untuk bersatu?
Jawabannya, jika dipikir-pikir, sebetulnya cukup sederhana. Kebanyakan orang di Indonesia punya budaya lebih mementingkan “bungkus” daripada “isi” sesuatu. Yang dimaksud “bungkus” di sini adalah karakteristik seseorang yang kelihatan dan mudah diobservasi, seperti penampilan, gerak-gerik, dan gaya bicara. Sementara itu, yang dimaksud dengan “isi” adalah hal-hal yang mendasar dalam diri orang tersebut tetapi tidak mudah diobservasi, seperti pemikiran, idealisme, motivasi hidup, latar belakang, dan cara berpikir.
Kurasa kebanyakan orang di Indonesia cenderung terobsesi oleh “bungkus” sehingga akhirnya “isi” ditelantarkan, disepelekan, dan dianggap tidak penting. Kamu mungkin tidak asing dengan contoh-contoh di bawah ini.
Misal, “bungkus” agama seseorang. Terus terang, saat berbicara tentang agama, bukankah fokusnya di Indonesia adalah “bungkus”-nya? Oleh karena itu, agama satu dengan yang lain, dan bahkan aliran-aliran berbeda dalam agama yang sama, saling “bersaing” dan berdalih bahwa cara pandangnyalah yang paling benar. Aku sering sekali mendengar argumen, “Agama X lebih bagus daripada agama Y karena ….” atau, “Dalam agama X, aliran X1 lebih bagus daripada aliran X2 karena X1 lebih murni, lebih ini, atau lebih itu”.
Ada pula orang-orang yang mengatakan, “Hati-hati dengan agama Y sebab mereka itu sibuk cari pengikut sehingga umat kita banyak yang disesatkan dan masuk ke agama Y. Jadi, demi Tuhan dan demi agama X, kita harus ekstrawaspada terhadap pengikut agama Y!”