Arumi sudah siap dengan seragam putih abu-abu serta balutan hijab putih yang terlihat sangat rapi dan cantik untuknya. Arumi sudah bersiap di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat sekolah sambil fokus pada layar ponsel yang menyala dengan suara musik mengalun, kepalanya sedikit bergerak hanyut pada suara dari ponsel. Tampak di layar ponsel ada beberapa dancer dari salah satu group idola Arumi dengan pakaian yang memperlihatkan sisi perutnya bergerak dengan lincah sesuai formasi.
“Keren banget gerakannya.” Ucap Arumi sambil tersenyum kagum.
Umi datang langsung melirik ke Arumi dengan penasaran sambil menaruh tiga tumpukan piring bersih di atas meja. Umi menatap Arumi yang tidak berpaling dari layar ponsel di depannya. “Kamu nonton apa, Rum?”
“Nonton video dance, Umi.” Jawab Arumi tanpa melihat Umi.
Umi menghela nafas heran lalu mengambil HP Arumi dan melihat video yang ditonton putri bungsunya.
Arumi mendengok dengan raut wajah yang berubah masam. “Kok HP aku diambil sih, Umi?” Protes Arumi.
Mata Umi langsung membelalak melihat video yang sedang ditonton Arumi. “Astagfirullah, Rum! Kok kamu nontonin video perempuan pamer aurat? Ini banyak mudharatnya!” Umi mengingatkan Arumi dengan wajah khawatir. Sebenarnya, bukan sekali atau dua kali Umi memperhatikan Arumi yang akhir-akhir ini sering menyetel vidio dengan suara yang keras. Umi sudah ingin menegur dari beberapa hari lalu, namun melihat tontonan Arumi kali ini, tidak ada tolerir lagi. Wajah Umi berubah menatap Arumi dengan tegas.
Arumi beranjak berdiri hendak mengambil ponselnya kembali dengan cepat namun Umi menahannya. “Tapi Umi-”
“Kamu itu anak kiyai Arumi. Kamu harus bisa jadi contoh yang baik buat orang lain.”
“Aku hanya kagum sama gerakan mereka aja.”
“Dengerin Umi.” Nada suara Umi perlahan lebih tenang. “Seorang wanita itu harus bisa menjaga aurat mereka, Nak. Umi hanya mengingatkan putri Umi supaya gak ikut pergaulan luar yang membuat dirinya lupa batasan. Kamu bisa percayakan itu ke Umi?”
Arumi tampak diam, tidak berani untuk menyanggah perkataan wanita yang telah melahirkannya itu. Hingga langkah kaki terdengar di telinga Arumi menambah ciut nyalinya. “Iya, Umi.” jawab Arumi seadanya. Umi langsung membalikkan ponsel milik Arumi.
Seorang pria berwajah tegas yang memiliki garis kerutan di wajahnya berjalan ke ruang makan. Arumi menghela nafas ketika melihat pria tua itu berjalan ke arahnya. Arumi langsung menunduk ketika pria tua yang biasa di panggil Abi, duduk tepat di sebelahnya. Seorang Kiyai yang memimpin pondok pesantren Al-Kaarim juga seorang yang sangat disegani oleh para santri.
“Ini makanannya, Bi.” Umi menaruh piring berisi nasi, ayam goreng dan tumis genjer di depan Kiyai Jafar lalu beranjak duduk di sampingnya. Momen sederhana yang selalu dilakukan oleh keluarga sebelum aktivitas memulai hari. Bagi Kiyai Jafar makan bersama keluarga adalah sebuah kebiasaan baik untuk tetap menjaga keharmonisan sebuah keluarga. Kadang selepas makan dapat digunakan untuk saling berdiskusi terkait hal yang segera ataupun sedang dilakukan dirinya di pesantren dan juga memberikan wejangan untuk putri bungsu mereka, Arumi Al-Kaarim.
“Kenapa ribut?” tanya Kiyai Jafar dingin.
Umi yang duduk berhadapan dengan Arumi, melirik sekilas ke arah Arumi yang hanya terdiam tidak berani menjawab. Dia paham sekali bagaimana prinsip yang dipegang oleh sang suami. Jika saja hal yang Arumi lakukan itu terlihat oleh Kiyai Jafar, bukan tidak lagi keputusan utama yang diambil bisa sampai menyita ponsel milik Arumi tanpa tahu kapan akan dikembalikan lagi. “Ndak popo*, Bi. Tadi Umi hanya minta Arumi buat ajarin makai hape. Umi kan gaptek.”
Kiyai Jafar hanya mengangguk, tidak curiga lagi pada hal lain. Kiyai pun mulai menyantap makan yang sudah disajikan oleh istri yang sudah di nikahi lebih dari dua puluh tujuh tahun. Sedangkan Umi bernapas lega melihat ke arah Arumi sambil mengarahkan tangannya agar Arumi segera menyantap makanan di depannya. Arumi mengambil sendok lantas mulai menyendokkan nasi ke mulutnya.
Suasana berubah hening hanya saja denting dari sendok dan piring saling beradu yang meramaikan meja makan pagi ini. Arumi diam dalam kekesalan kepada Umi yang seakan menyudutkan akibat tontonan yang menurutnya tidak bermanfaat. Dalam hati Arumi masih kekeh bahwa tidak akan ada yang bisa menghalangi mimpinya, siapapun itu.
“Gimana sekolah kamu, Rum?” Tanya Kiyai Jafar dingin sambil meletakkan gelas berisi air yang baru saja ia minum. Pandangan Kiyai Jafar beralih ke Arumi yang tampak tidak berselera makan.