TEROR JIN DALAM PESANTREN

Lisnawati
Chapter #3

BAB 2 - TEMPAT TERKUTUK

Mata Arumi seakan tidak ada habisnya mengeluarkan cairan bening, walau sudah terasa kering, Arumi belum berhenti untuk menyudahi tangisnya. Hatinya seolah hancur, lebih dari patah hati ketika sang idola memilih mencintai wanita lain. Dipergelangan tangan Arumi tergambar jelas berwarna merah akibat sabetan dari rotan yang selama ini tersimpan di atas lemari pakaian Abi. Ini petaka buat Arumi. Bukan lagi seberapa sakit sabetan yang dilakukan Abi untuk Arumi, tapi masih kembali akan mimpinya. Dirinya seolah akan terkurung hingga tidak ada celah untuk menjemput impiannya menjadi seorang dancer yang profesional.

Sejak kedatangan Kiyai Jafar ke rumah Ericha, semua rahasia yang disimpan Arumi rapat-rapat seolah tidak ada arti. Kiyai sudah mengetahui semuanya, kegiatan yang dilakukan usai pulang sekolah, ekstrakulikuler apa yang diikuti sampai isi ponsel Arumi. Tidak ada pembelaan yang bisa dilakukan Arumi walau dalih dirinya akan tetap memakai hijab saat melakukan dance. Meski akan terlihat sangat konyol.

“Coba renungkan lagi kesalahan apa yang udah kamu perbuat, Arumi. Besok pagi Abi minta kamu sudah mengemas seluruh pakaian untuk tinggal di pondok!” teriak Kiyai Jafar terlihat seolah kehabisan akal untuk menghadapi putri semata wayangnya yang jauh berbeda dengan putra sulungnya. Kiyai lantas pergi dari hadapan pintu kamar Arumi sambil kembali mengatur napas, mencoba melerai sedikit emosi yang memenuhi diri.

Sementara Arumi masih terduduk menatap nanar foto keluarga yang terpajang di sisi meja kamar. Jelas sekali penampilan Arumi yang sangat berbeda ketika Kiyai Jafar memergokinya, Arumi di dalam foto terlihat anggun, menampakan wanita muslimah yang seakan taat pada agama dan sangat merasa rugi telah menunjukkan auratnya. Nasi sudah menjadi bubur, kejadian yang tidak bisa diulang kembali. 

Ketakutan yang selama ini dikhawatirkan olehnya ternyata telah terjadi. Arumi tidak tahu apalagi yang harus diperbuatnya. Rasanya sesak, kesal, marah yang bercampur menjadi satu. Walau sebenarnya Arumi tahu, keinginan dirinya jauh dari kata disetujui oleh Kiyai Jafar yang punya prinsip agama sangat kuat. Memperlihatkan sehelai rambut tanpa sengaja saja pasti Kiyai akan meminta Arumi kembali ke kamar untuk menyadari kekhilafan itu. Apalagi sampai melepas seluruh hijab yang menjadi peranti utama bagi perempuan guna menutup mahkotanya. Sudah pasti kesalahan dan dosa yang sangat besar.

Panggilan dan pesan masuk terus berbunyian dari ponsel Arumi yang tergeletak di sampingnya. Pasti dari Jessica dan Ericha yang ikut mengkhawatirkan Arumi, atau lebih kejelasan Arumi akan ikut kompetisi dance, iya atau tidak?

***

Mimpi itu kini menjadi nyata. Arumi akan menetap tinggal di dalam pondok pesantren Al-Kaarim, tempat yang nyaris selalu dihindari kala Kiyai Jafar memaksa Arumi untuk menimba ilmu agama. Siapa sangka waktu malah lebih berpihak kepada keinginan Abi. Tidak ada yang bisa Arumi sanggah, untuk kali ini.

Wajah Arumi terlihat masam, mata indah miliknya kini tampak bengap, dan kaki terasa kaku untuk melanjutkan langkah untuk memasuki kawasan pondok pesantren. Jelas ada pergulatan batin antara keinginan Arumi dengan hukuman yang harus dia terima. “Siall!”

“Hei!!” Suara nyaring itu membuat lamunan Arumi pecah. Dari sisi pintu kiri gerbamg ternyata ada seorang santriwati yang sejak tadi memperhatikan Arumi, dari cara pandang santriwati itu seperti sudah mengenali Arumi. “Kamu putri Kiyai, kan?”

Arumi masih diam, tatapan tidak suka kentara jelas di wajah Arumi. Santriwati mendekat langsung mengulurkan tangannya di hadapan Arumi. “Perkenalkan namaku Ajeng. Semua santriwati disini pasti sudah mengenali kamu, Arumi.. toh?” Tanya santriwati itu khas logat Jawa.

“Hayuk buruan bawa tas itu kedalam, Umi bakal kasih peraturan untuk santri baru yang akan tinggal di pondok pesantren.” langkah memburu Umi nyaris membuat Arumi dan Ajeng tersentak kaget. Tatapan mereka hanya membuntut ke arah Umi Nur yang berjalan dengan cepat. Tanpa menunggu, Arumi sigap mengangkat tas ransel lalu mengekor Umi di belakang.

Pandangan mata Arumi mengedar ke area keliling pesantren, sudah banyak perubahan tatanan halaman di bagian lapangan jauh berbeda ketika enam hingga delapan bulan terakhir kaki Arumi pijakkan di tempat ini. Kedatangan di pesantren terakhir kali pada perayaan Maulid Nabi SAW, yang harus di paksa oleh sang Umi. Jika tidak, pemotongan uang saku akan berlaku untuk dirinya.

Hembusan napas panjang ketika langkah Umi berhenti di salah satu ruangan dengan tertulis kepala asrama. Sejenak mata Arumi memejam, berusaha menerima hukuman yang harus dijalani yang tanpa tahu akan berakhir kapan. 

“Tidak ada yang harus Abi toleransi lagi dari perbuatan kamu, Rum. Keputusan Abi sudah bulat. Kamu akan dipindahkan ke sekolah asrama di pondok pesantren!” Kalimat yang kembali terngiang di dalam kepala Arumi. Sesak memenuhi rongga dadanya.

Lihat selengkapnya