Teror Rembulan Jingga

Djoana Jasmine
Chapter #1

Dia Kembali


"Tunggu!" Kuraih tangannya sebelum gadis itu beranjak pergi. Dia menepis. Berbalik dan mata elangnya menghujamku. Lebih dingin dari udara malam. Kebencian yang selama ini terkamuflase dengan baik menyembul keluar. 

"Hentikan kegilaan ini! Dengarkan aku! Bukankah kita berteman?"

Dia tertawa sinis. Menatapku seolah aku baru saja berkata konyol di hadapannya. Matanya beralih ke lencana yang tersemat di dadaku. Ditatapnya penuh kebencian lencana itu. Aku baru menyadari satu hal. Dendam telah berakar kuat dalam dirinya. Dia tumbuh bersama amarah dan dendam itu.

Menghilangkan dendam yang telah mendarah daging tak ubahnya berusaha mencabut pohon berusia ratusan tahun yang akarnya menghunjam kuat ke pusat bumi. Butuh lebih dari sekedar usaha.

"Kita tidak akan pernah menjadi teman," sahutnya dingin. 

Rasa nyeri menghantamku mendengar kalimat itu.

"Kau adalah bagian dari sesuatu yang kubenci. Kita tidak akan menjadi teman atau apa pun." Dia berbalik dan lagi-lagi menatapku dengan mata elang hitam pekatnya.

"Kali berikutnya kita bertemu, kita akan saling bunuh, Hunter!"

Kami saling tatap di bawah cahaya lampu jalan yang keremangan. Mata indah itu seolah membeberkan kisah suram yang membuatnya menjadi mesin pembunuh tak punya hati seperti sekarang.

Aku mati-matian meyakinkan diri bahwa dia masih bisa diselamatkan. Bahwa di balik hitam hatinya, masih ada noktah bernama nurani yang akan menuntunnya pada kebenaran. Dia terlalu indah untuk menjadi monster. Terlalu berharga untuk menjadi jagal pencabut nyawa. Hatinya harus disembuhkan. Dia harus disembuhkan. Bagaimanapun caranya.

"Sayounara, Hunter. Bersiap untuk duel kita!"

Dia melangkah mundur. Masih menatapku. Entah apa penilaiannya tentangku sekarang. Yang jelas, dia membenciku, sama kadarnya dengan ia membenci polisi-polisi yang telah dia habisi. Suatu keajaiban kalau sekarang dia tidak mencabut pistolnya dan membuatku terkapar di sini dalam satu tarikan pelatuk.

Jalan pikirannya memang tak pernah bisa ditebak. Makin dalam aku mencoba mengorek tentangnya, makin banyak misteri yang aku temukan.

Duel katanya? Aku menggeleng. Itu tidak akan terjadi. Akan kupertaruhkan apa pun agar dia mendapatkan keadilannya. Aku tidak ingin melawannya. Pertama, aku pasti kalah, kedua, aku tidak ingin menyakitinya. 

Derum ferari terdengar. Dia melesat pergi meninggalkanku yang masih mematung di bawah gerimis. 

Kutengadahkan wajah dengan mata terpejam. Membiarkan rintik kecil yang menjadi awal mula namaku itu menerpa wajah. Menyiram dan mengukuhkan tekat untuk mencari kebenaran. Kebenaran yang akan menyembuhkan Rembulan Jingga.

Lihat selengkapnya